Buya Hamka: Saya kembali ke Ru'yah

Beberapa Kalam Menarik Buya HAMKA dalam Bukunya “Saya Kembali ke Ru’yah” yang Patut untuk Direnungkan..

==========================

1. Menurut keyakinan saya, kalau dalam Muhammadiyah kebebasan berpikir itu tidak ada lagi, dan telah ditukar dengan taqlid yang diorganisir, tammatlah ceritera Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.

2. Apabila dipelajari bunyi keputusan ini dengan seksama (maksudnya Keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah tahun 1930 di Yogyakarta yang berkenaan dengan memulai dan menyudahi puasa-Red), baik isinya atau susunan katanya menurut qa’idah-qa’idah hukum pemakaian bahasa Arab, nyata sekali bahwa yang pertama sekali, bahwa yang pertama sekali diutamakan, ialah rukyatul-hilal, baru atau dan baru atau, sampai memakai hisab.

Yang memulai membuka jalan kepada hisab ini ialah Ulama-ulama Almunir di Padang (1911) yang dipelopori oleh Almarhum Syaikh M. Jamil Jambek dan ayah hamba sendiri, Syaikh Abdul-karim Amrullah.

3. Kemudian dilanjutkan lagi pembelaan saya memakai hisab itu pada tahun 1952, di zaman Menteri Agama Kiyahi H. Saifuddin Zuhri. Pemerintah ketika itu, khususnya Kementerian Agama menjalankan istikmal Ramadhan 30 hari, sedang saya sebagai Imam Besar Mesjid Agung Al-Azhar berbuka menurut hitungan hisab, menjadi puasa saya 29 hari, demi menjaga disiplin organisasi Muhammadiyah dahulu berbuka sehari, menurut hisab. Hal ini mengakibatkan salah satu sebab saya ditangkap dan ditahan dizaman pemerintahan Orde Lama itu.

4. Dari 21 Hari bulan April 1969 sampai tanggal 27 April terjadilah International Islamic Conference di Kuala Lumpur. Presiden Suharto telah menunjuk saya sebagai Salah seorang anggota delegasi dari Indonesia. Disamping Ketua Delegasi Letjen H. Sudirman terdapatlah anggota-anggota delegasi H. Rusli Khalil dari Perti, Wartomo dari PSII dan Prof Ibrahim Hussain dari Nahdatul-Ulama. Sekretaris delegasi Mayor M. Mufti.

Diantara masalah yang dibicarakan dengan bersemangat ialah tentang memulai dan menutup puasa dengan rukyah atau dengan hisab ini.

Terjadilah pertukaran fikiran dan pernyataan pendapat yang meriah dan hebat , dari Ulama-ulama yang datang dari. seluruh Uunia Islam: Saudi-Arabia, Aljazair, Marokko, Tunisia, Libia, Pakistan, Afghanistan, Sudan, Iran, Indonesia, Malaysia, Kuwait, Somali, Yaman-Selatan, Mesir, Turki, Ceylon, Pilipina, Ulama- ulama Islam dari Siam dan lain-lain.

Maka terdengarlah isi fikiran sebahagian terbesar (Jumhur) hadirin menguatkan Sunnah Nabi, bahwa memulai dan menutup puasa tidak ada yang lebih baik dari pada dengan rukyah.

Hanya dua suara yang menyatakan bahwa hisab itu boleh juga dipakai sebab tujuan hadits Nabi memerintahkan puasa dan berbuka dengan rukyah-hilal itu, lain tidak ialah untuk menjelaskan bahwa Ramadhan, telah masuk dan Ramadhan telah habis. Kalau maksud itu tercapai, dengan hisab, apa salahnya kita memakai hisab. Apatah lagi kita sekarang sudah dizaman modern. Alat-alat untuk hisab sudah lebih sempurna.

Suara dua yang mempertahankan hisab itu, pertama ialah dari Iran yang berlatar belakang Mazhab Syi’ah.

Yang kedua ialah; dari Indonesia; orangnya yang mempertahankan itu ialah saya sendiri!

5. Dan sayapun bersyukur karena Menteri Agama Kiyahi Faqih Usman, pemimpin Muhammadiyahlah yang mula-mula membuat perintah agar resmi pegawai Kementerian Agama rukyatul-hilal dizaman pemerintahan Kabinet Halim (1950) dan kabinet Wilopo (1952). Dan setelah terlihat agar segera dilaporkan kepada Kementerian Agama, dan malam itu juga disiarkan hasil rukyah itu dengan Radio dan setelah ada Televisi dengan Televisi pula.

6. Sa’adoeddin Jambek adalah anak dari ahli-falak yang masyhur, Tuan Syaikh Mohammad Jamil Jambek, Bukittinggi. Diapun setiap tahun mengadakan hisab untuk menentukan waktu berbuka dan imsak bulan puasa, yang dikeluarkan dan dibagi-bagikan dengan percuma oleh Penerbit TINTAMAS Jakarta.

Dia membawa perobahan baru dalam hal hisab. Sejak zaman dia turut menghisab kita mendengar 2 macam ufuk, yaitu “ufuk- haqiqiy” dan “ufuk-mar’iy”. Ahli-ahli hisab yang lain termasuk ahli-ahli hisab dari Muhammadiyah di Jokjakarta memperhitungkan, bila telah terjadi ijtima’ bulan dan Matahari, ketika itu sudah ada (wujud) hilal (bulan) yang baru, meskipun belum dapat dilihat ditepi ufuk. Tetapi menurut pendapat Sa’adoeddin Jambek meskipun hilal sudah wujud, kalau dia belum dapat dilihat di ufuk, yang beliau beri nama “Ufuk-mar’iy”. maka hendaklah disempurnakan bilangan bulan itu 30 hari; demikian awal bulan Ramadhan, demikian pula awal bulan Syawal.

Disini terdapatlah perbedaan pendapat sesama ahli hisab.

Bagi ahli hisab yang lain, mungkin termasuk ayah saudara Sa’adoeddin Jambek sendiri, kalau sudah ijtima, bulan sudah ada, meskipun belum dapat dilihat. Dan tak perlu dilihat lagi sudah wajib puasa besoknya.

Bagi Sa’adoeddin Jambek, kalau menurut ilmu-hisab bulan itu belum imkan rukyah, artinya belum mungkin dapat dilihat, karena dia sudah terletak dibawah dari ufuk-mar’iy, hendaklah cukupkan bilangan Sya’ban atau Syawwal itu 30 hari supaya berlaku apa yang diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w, yaitu istikmaal, menyempurnakan bilangan 30 hari.

7. Pada Hari Raya ‘Idul-Fithri 1398 H, terjadilah dengan nyata perselisihan pendapat diantara hisab Sa’adoeddin Jambek dengan Hisab Majlis Tarjih Muhammadiyah ini.

Sedangkan Sa’adoeddin Jambek pun adalah orang Muhammadiyah juga. Bahkan Ketua dari Majlis Pimpinan Pengajaran Muhammadiyah.

Atas anjuran sdr. H. Mohammad Natsir pernahlah diadakan suatu diskusi tentang faham Sa’adoeddin Jambek ini di kantor Harian Abadi di Jakarta. Dia diminta memberikan keterangan dasar-dasar dari pendapat dan pendiriannya itu. Setelah mendengar keterangan dari pembela-pembela Hisab yang lain, keterangan Sa’adoeddin Jambek, guru yang ahli itu didengarkan pula, maka M. Natsir, Prof. Rasyidiy, Dr. Anwar Haryono menyatakan menyetujui faham Sa’adoeddin Jambek itu. 

Adapun penulis ini sendiri, sebelum itu telah menyatakan pula bahwa dia dapat menerima keterangan Sa’adoeddin Jambek. Menurut hisab Sa‘adoeddin Jambek itu maka bilangan Ramadhan disempurnakan 30 hari; karena meskipun bulan sudah wujud, belumlah dapat dilihat. yang mengakibatkan bersamaan Hari Raya penganut Sa‘adoeddin Jambek ini dengan Hari Raya Pemerintah Republik Indonesia, tegasnya Kementerian Agama. Sedang Muhammadiyah dan Persis dan Al-Irsyad dan yang sefaham, telah berhari raya sehari sebelumnya.

Oleh karena saya sendiri adalah Imam dari Masjid Agung Al-Azhar dan sdr. Sa’adoeddin pun ahli-hisab Mesjid Agung Al-Azhar pula, dengan sendirinya Mesjid Agung berhari-raya Hari Khamis, padahal Muhammadiyah berhari raya kemarennya, hari Arba’a.

Pada waktu itulah bertubi-tubi pukulan, ejekan, hinaaan dan tuduhan kepada diri saya sendiri, karena tidak setia lagi “menurut organisasi” Muhammadiyah.

Muballigh-muballigh Muhammadiyah menghantam saya, walaupun disamping saya beberapa orang penting yang lain mengikuti hisab Sa’adoeddin Jambek.

8. Disamping itu saya terima juga beberapa pucuk surat kaleng : Ada yang menanyakan berapa saya dapat hadiah dari Menteri Agama. Dan saya terima juga telepon mengata-ngatai, dan sebelum saya sempat menjawab, telepon sudah diletakkan dengan keras !

Semuanyapun tidak saya sesali. Bahkan yang saya sesali ialah diri saya sendiri. Sebab sudah lebih 40 tahun saya jadi Muballigh
Muhammadiyah, yang banyak saya ajarkan kepada kader-kader saya hanyalah ilmu khilafiyah, jarang saya memberikan tuntunan sopan santun!

9. Barulah didalam Majlis Tanwir di Ponorogo, pertemuan Pernimpin-pemimpin Muhammadiyah Pusat dan Wilayah (1969) saya uraikan sebab-sebab perobahan yang menggemparkan itu. 

Soalnya bukanlah karena mengkhianati Muhammadiyah, melainkan karena telah ada pula ahli-hisab/orang Muhammadiyah sendiri, cuma bukan di Jokja tempatnya, yaitu Sa’adoeddin Jambek. Setelah saya pertimbangkan dengan akal saya dan; penelitian saya, hisab beliau itulah yang saya ikuti, karena itulah yang lebih dekat kepada Sunnah. 

Tetapi kalau kiranya sikap ini dipandang melanggar organisasi demi kepentingan gerak Muhammadiyah, saya bersedia menuruti apa saja yang patut diputuskan terhadap diri saya.

10. Saudara-saudara yang tidak atau belum ada kesanggupan menyelidiki sendiri, bolehlah terikat kepada Keputusan Majlis Tarjih itu. Dan biarkanlah saya sendiri mencari langsung kepada sumbernya, baik dari Al-Quran atau dari Al-Hadits ataupun dari pendapat ulama-ulama yang terdahulu. Menurut saya Keputusan Majlis Tarjih itu hanyalah bimbingan untuk orang awam, bukan untuk orang yang telah sanggup mencari sendiri.

11. Muhammadiyah yang telah saya masuki sejak masih usia 17 tahun (1925) rupanya mempunyai lahir dan batin. Batinnya ialah cita-cita tajdidnya, lahirnya ialah susunan organisasinya. Kebebasan berfikir yang telah dididikkan ayah dan guru-guru saya sejak masih kecil menyebabkan saya jadi orang Muhammadiyah. Tetapi kebebasan Pribadi dan kemerdekaan saya berfikir, belum tentu akan selalu sejalan dengan Muhammadiyah sebagai Organisasi. 

12. Maka setelah saya pertimbangkan masak-masak, seketika akan Mu’tamar Muhammadiyah di Makassar (1971) saya kirimlah Surat kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah, bahwa saya tidak bersedia lagi dicalonkan menjadi Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

13. Sejak itu saya hanya semata-mata Penasehat dari Organisasi. Dan sejak itu pula saya bebas mempergunakan sisa umur untuk: melanjutkan gerak tajdid (perbaharuan) faham Islam menurut perkembangan pribadi saya, lanjutan dari gerakan Said. Jamaluddin Al-Afghaniy dan Syaikh Muhammad Abduh, yang diterima oleh Kaum Muda di Sumatra Barat (1906) dan digabung serba disebar luaskan dengan gerak Muhammadiyah sejak masuknya ke Sumatra Barat (1925). Dan gerakan itupun saya teruskan pula menurut kemampuan yang ada pada saya.

Dan inti pusaka dari gerakan perbaharuan itu ialah menganjurkan ijtihad bagi barang siapa yang telah ada kesanggupan, atau kesanggupan tarjih, demi untuk menjauhi tuduhan sombong. Dan intinya yang kedua ialah menjauhi taqlid, termasuk Taqlid yang diorganisir.

14. Pangkal selisih kami yang sudah sampai “panas” karena dicampuri oleh orang-orang darah tinggi, atau orang jolong gedang itu tidaklah besar. Keduanya masih memakai hisab. Dahulu hisab Muhammadiyah hanya satu saja, yaitu dari Jogjakarta. Sekarang ada hisab Sa’adoeddin Jambek, yang kebetulan tinggal di Jakarta dan hisab beliau itu saya sokong sebab menurut pendapat saya, hisab begini lebih dekat kepada sunnah. Tegasnya dia dapat mempermudah rukyah. Karena rukyahlah yang asli diterima Nabi, dan rukyah inilah pegangan Jumhur Ulama Islam, dari zaman Nabi s.a.w. sampai kepada zaman sekarang, sebagai saya saksikan di Konferensi Islam Kuala Lumpur.

15. Saya lebih senang kalau seluruh Ummat Islam Indonesia bersamaan permulaan puasanva dan bersamaan pula penutupnya, sehingga sama Hari Raya dalam satu hari. Dan ini hanya akan tercapai kalau orang kembali kepada sunnah, yaitu puasa dan berbuka dengan rukyah. Dan payahlah akan dapat orang diajak bersatu semuanya mari puasa menurut hisab, tinggalkan rukyah. Sebab apabila kesadaran kepada sunnah itu bertambah berkembang dalam negeri ini, hati orang akan lebih mantap beribadat jika pemerintah yang berkuasa memerintahkan mengadakan rukyah tiap tahun, sebagaimana yang telah dipelopori oleh pemimpin Muhammadiyah sendiri, Kiyahi H. Faqih Usman ketika beliau menjadi Menteri Agama (1950).

16. Di Kuala Lumpur telah diperbincangkan kemungkinan persamaan memulai puasa dan menutupnya berdasarkan rukyah, buat seluruh negeri-negeri Islam yang sama mathla’ nya. Segala alat modern akan dipakai untuk memudahkan terlaksananya cita-cita itu. Apatah lagi alat-alat telekomunikasi zaman sekarang telah lebih maju. Dan itu sudah tentu diantara pemerintah dengan pemerintah. Di Indonesia tentu akan dilaksanakan oleh Kementerian Agama.

Maka timbullah pertanyaan : “Apakah kalangan Muhammadiyah atau Persis, atau Al-Irsyad dan berbagai pengikutnya akan mau menuruti aliran yang baru itu ? Yaitu kembali kepada sunnah, supaya persatuan Ibadat Dunia Islam dapat tercapai ?

Apakah gerakan-gerakan Islam yang 60 tahun yang lalu jadi pelopor kembali kepada Al-Quran dan Sunnah dan membuka pintu ijtihad, yang telah bertahun-tahun terikat oleh “Taqlid yang diorganisir” ini akan mau surut selangkah ? Tidakkah nanti mereka akan terus melakukan apa yang mereka lakukan selama ini, yaitu barang sebulan terlebih dahulu sebelum puasa, telah membuat maklumat dalam surat-surat kabar bahwa ijtima’ Ramadhan tanggal sekian, Syawwal tanggal sekian, sebab itu tanggal sekian mulai puasa, tanggal sekian penutupnya. “Karena begitulah menurut orhanisasi” orang mesti sami’na wa atha’na !”

Sehingga dengan demikian usaha menyatukan permulaan dan penutupan puasa menurut sunnah, baik untuk seluruh Indonesia atau untuk seluruh dunia Islam tidak perlu diperdulikan, demi menjaga kewibawaan Majlis Tarjih dan lain-lain. Sehingga dengan tidak disadari, gerakan agama yang mendakwakan dirinya penganut Mazhab Salaf, hanyut kedalam suasana Sektarisme meng-arah-arah Kaum Kristen Sekte Zeven Adventis di Indonesia, yang tidak mau turut dalam Pemilihan Umum tahun yang lalu, karena Hari Pemilihan Umum itu jatuh pada hari Sabtu!

(selesai nukilan)

==========================

Kesimpulan yang diambil Buya HAMKA:

1. Muhammadiyah tidaklah melanggar keputusan Tarjih nya kalau dia memulai dan menutup puasa Ramadhan menurut rukyah atau istikmal. Lalu dijadikannya ilmu-hisab untuk mempermudah rukyah.

2. Jika kita ingin hendak mempersatukan ibadat puasa Kaum Muslimin Indonesia, pada memulai dan menutupnya, lebih mudahlah persatuan itu dicapai dengan memakai rukyat atau istikmaal. Dan kesatuan ini dipimpin oleh SULTHAN (pemerintah), sebagai yang selalu berlaku dalam Dunia Islam sejak zaman Rasulullah saw. Di Indonesia ialah Kementrian Agama Republik Indonesia.

3. Mulai dan menutup puasa berdasarkan rukyah telah dipelopori oleh seorang pemimpin Muhammadiyah yang besar, Almarhurn Kiyahi H. Faqih Usman seketika beliau menjadi Menteri Agama (Kabinet Halim, 1950). Dan orang tidak dihalangi berpuasa menurut keyakinannya dengan hisab, sebagaimana tertera dalam Mazhab Syafi’i.

4. Membuat maklumat sendiri, dari perkumpulan-perkumpulan yang berkeyakinan kepada hisab, mendahului maklumat pemerintah. adalah satu hal yang tidak bijaksana, karena secara psycologis menggambarkan kembali persatuan yang dicita-citakan oleh Ummat Islam bersama. Apatah lagi setelah berkali-kali ternyata, hasil hisab yang disiarkan itu tidak ada persamaan. Malahan pernah kejadian dari satu perkumpulan, dua macam hisab.

5. Gagasan hendak mempersatukan permulaan dan penutupan puasa yang dicetuskan di Konferensi Islam di Kuala Lumpur, dan diteruskan oleh Arrabithatul ‘Alamil Islamy di Makkah, sampai dipersoalkan pula oleh Al-MajlisuI Islami Al-A’la lisy syu-unil Islamiyah di Mesir dan majalahnya yang terkenal “Mimbarul Islam”, adalah satu gagasan yang patut menjadi perhatian. Kalau perlu, sangguplah hendaknya kita melepaskan tradisi, kalau akan hanya membawa kita pulang kepada Sunnah Rasulullah s.a.w. 

6. Dan biarkanlah soal kembali kepada Hadits Rosul saw (Ru’yah dan Istikmaal) ini menjadi semata-mata soal ibadat, tidak disangkut pautkan dengan politik; pro atau kontra pemerintah yang tengah berkuasa, atau menteri yang tengah memerintah. Dan tidak pula dijadikan alat politik untuk “tunjuk kuasa” atau “tunjuk pengaruh”. Sehingga suasana kita beribadat puasa dan berhari raya dihadapi dengan rasa thuma’nina (tenteram).

(selesai nukilan)

==========================

Sedikit Komentar saya :

Hisab versi Sa'adoeddin Jambek yang diikuti oleh Buya HAMKA ini adakah dokumentasi polemiknya di internal Muhammadiyah ? Mungkin kawan-kawan Muhammadiyah bisa menjelaskannya.

Tidak ada komentar: