HUKUM SAFAR WANITA TANPA MAHROM


Berkaitan dengan Safar seorang wanita muslimah tanpa mahrom maka ada 2 dalil yang berbeda : 

1. Dalil akan larangan wanita Safar tanpa mahrom.

- Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah bersabda : 

لَا تُسَافِرِ المَرْأَةُ ثَلَاثًا، إلَّا وَمعهَا ذُو مَحْرَمٍ
“Seorang wanita jangan Safar selama 3 hari kecuali bersama mahromnya”. (H.R Muslim no. 1338)
- Dari Abdullah bin Abbas, Rasulullah bersabda : 

 لا تُسَافِرِ المَرْأَةُ إلَّا مع ذِي مَحْرَمٍ
“Seorang wanita jangan Safar kecuali bersama mahrom”. (H.R Bukhori no. 1862)

Dan banyak riwayat yang semakna dengan Hadits-Hadits ini.

2. Dalil akan bolehnya wanita Safar tanpa mahrom

- Dari Adi bin Hatim, Rasulallah berkata kepadanya : “Wahai Adi apakah engkau mengetahui kota Hiroh (di Iraq)..?”.

Adi berkata : “Aku belum pernah melihatnya namun pernah dikabari tentangnya”.

Rasulallah bersabda : 

فإنْ طَالَتْ بكَ حَيَاةٌ، لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الحِيرَةِ حتَّى تَطُوفَ بالكَعْبَةِ، لا تَخَافُ أحَدًا إلَّا اللَّهَ 
“Jika umur kamu panjang niscaya engkau akan melihat seorang wanita Safar sendirian dari Hiroh sampai Thowaf di Ka’bah, ia tidak takut melainkan hanya kepada Allah”.

Aku berkata dalam hati : terus dimana begal-begal Tho’i yang telah merusak bumi.

Adi setelah itu berkata : 

فَرَأَيْتُ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الحِيرَةِ حتَّى تَطُوفَ بالكَعْبَةِ، لا تَخَافُ إلَّا اللَّهَ، 
“Dan aku melihat sendiri seorang wanita Safar dari Hiroh sampai thowaf di Ka’bah tidak takut kecuali kepada Allah”. (H.R Bukhori no. 3595 dan Muslim no. 1016)

- Dari Ibrohim bin Abdurahman bin Auf berkata : “Umar mengizinkan istri-istri Rasulullah untuk haji di akhir haji yang dilakukan oleh beliau, maka beliau mengutus bersama mereka Utsman bin Affan dan Abdurahman bin Auf”. (H.R Bukhori no. 1860)

Safar wanita tanpa mahrom ada 3 kondisi : 

1. Safar untuk hijroh dari negeri kafir menuju negeri Islam.
Para ulama sepakat akan boleh nya wanita Safar untuk hijroh dari negeri kafir menuju negeri Islam tanpa mahrom. 

Sebagaimana dinukilkan ijma’ oleh Imam Ibnul Mulaqin dalam kitab al I’lam Bifawa’idi Umdatil Ahkam : 6/79), dan Imam al Qurtubi dalam kitab al Mufhim Lima Usykila Min Talkhis kitab Muslim : 3/450)

2. Safar untuk melaksanakan ibadah haji yang wajib.

Berkaitan dengan safarnya seseorang wanita untuk ibadah haji yang wajib tanpa mahrom, maka para ulama berbeda pendapat apakah adanya mahrom adalah salah satu syarat kewajiban haji atau tidak ;
- Adanya mahrom adalah syarat kewajiban ibadah haji sehingga bagi wanita yang tidak ada mahrom maka tidak ada kewajiban haji baginya. Ini adalah pendapat Hasan al Bashri, Ibrohim an Nakho’i, Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal, Abu Tsaur, Al A’masy, Ishak bin Rohawaih. (Lihat kitab At Tamhid : 21/50, al Mufhim : 3/449)

- Mahrom bukan syarat dalam kewajiban haji. Ini adalah pendapat Atho’ bin Abi Robah, Ibnu Sirin, Sa’id bin Jubair, al Auza’i, Malik, dan Syafi’i. (Lihat al Mufhim : 3/449, Al I’lam : 6/79)

Dan pendapat kedua ini adalah Tarjih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sebagaimana Imam Ibnul Muflih berkata : “Pendapat guru kami (Syaikhul Islam):

تحج كل امرأة آمنة مع عدم المحرم 
Setiap wanita yang aman boleh haji walaupun tanpa mahrom”. Dan pendapat bisa diterapkan untuk selain ibadah yang wajib. (Al Furu’ : 3/236)

Dan ini adalah pendapat Jumhur, sebagaimana Imam Ibnu Bathol berkata : 

وجمهور العلماء على جواز ذلك ، وكان ابن عمر يحج معه نسوة من جيرانه
“Dan Jumhur ulama berpendapat akan bolehnya (haji tanpa Mahrom), dan Ibnu Umar pernah haji bersama wanita-wanita dari tetangganya”. (Syarah Shohihil Bukhori : 4/532)

3. Safar untuk tujuan selain kewajiban ibadah haji, baik untuk dagang, ziarah, belajar, atau tujuan yang lain.

Maka para ulama terbagi menjadi 3 pendapat : 

- Jika Safar panjang melebihi 3 hari maka harus bersama mahrom, namun jika Safar pendek kurang dari 3 hari maka boleh tanpa mahrom. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Murid-murid beliau, Abu Tsaur. Dan ini diriwayatkan dari Hasan al Bashri, an Nakho’i, Asy Sya’bi. Dan ini pendapat Ibnu Mas’ud dan A’isyah. (Lihat At Tamhid : 21/54)

Ketika ada orang yang berkata kepada A’isyah bahwa wanita tidak boleh Safar tanpa mahrom, maka beliau berkata : 

ليس كل النساء تجد محرماً‍
“Tidak semua wanita mendapatkan mahrom”. (Al I’lam : 6/80 karya Ibnul Mulaqin)

- Harus dengan mahrom baik Safar lama maupun sebentar. Ini adalah pendapat Jumhur Ulama, yaitu Madzhab Malikiyah (Irsyadus Salik : 1/165), Syafi’iyah (Majmu’ : 7/69), dan Hanabilah (Al Inshof : 3/419). 

- Safar lama boleh tanpa mahrom dengan syarat aman. Ini adalah salah satu pendapat dalam Madzhab Syafi’iyah sebagaimana dinukilkan oleh Imam Nawawi dalam kitab al Majmu’ : 7/70, dan diriwayatkan dari Imam Malik (al I’lam : 6/81), dan ucapan Syaikhul Islam juga bisa dibawa ke pendapat ini.

Ada beberapa qaedah para ulama yang bisa diterapkan dalam masalah ini : 

1. Kaedah ( الحكم يدور مع علته وجوداً أو عدماً ) “Hukum berputar mengikuti sebab nya ada wujudnya atau tidak”. 

- Misalkan : Khomer diharamkan karena memabukan, maka ketika sifat memabukan sudah hilang karena sudah menjadi khol (cuka) maka hukum haramnya hilang.

- Larangan safar seorang wanita tanpa mahrom karena berbahaya dan tidak aman, sehingga ketika perjalanan aman dan tidak bahaya maka hukum larangannya hilang.

Imam al Baji berkata : “Mungkin yang dimaksudkan oleh saudara-saudara kami tentang larangan Safar wanita tanpa mahrom adalah ketika sendirian atau jumlah rombongan yang sedikit. Namun jika rombongan besar, atau jalan ramai oleh manusia dan aman seperti tempat yang ada pasar dan jalan yanh dilalui perjalanan para pedagang maka keamanan ada walaupun wanita berjalan tanpa mahrom atau tanpa teman wanita yang lain. Inilah yang diriwayatkan dari Imam al Auza’i”. (Al Muntaqo Syarah Muwattho’ : 3/17)

Dan ini juga fatwa Syaikh Abdurrozak Afifi dalam fatwa beliau : 1/201).

2. Kaedah : ( ما حرم لذاته لا يباح إلا للضرورة، وما حرم لسد الذريعة فيباح للحاجة )

“Apa yang diharamkan secara dzatnya maka tidak dibolehkan kecuali dalam kondisi darurat, dan apa yang diharamkan karena sebagai penutup pintu dosa maka dibolehkan karena ada hajat”.

Kaedah ini sering disebutkan oleh Syaikhul Islam dan Ibnul Qoyyim dalam banyak tempat di kitab mereka seperti Majmu’ Fatawa : 23/214, Zadul Ma’ad : 2/223, I’lamul Muwaqi’in : 2/161

- Misalkan : Daging babi diharamkan secara dzatnya maka tidak boleh memakanannya kecuali  dalam kondisi darurat seperti meninggal jika tidak memakannya.

- Sedangkan dilarangannya wanita Safar tanpa mahrom maka karena untuk menutup pintu kerusakan, sehingga dibolehkan ketika ada hajat.
Seperti Hijrohnya Umu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu’ith ke Madinah sendirian. (H.R Bukhori no. 2564)

3. Kaedah 

( أن الأصل في العبادات بالنسبة إلى المكلَّف التعبد دون الالتفات إلى المعاني، وأصل العادات الالتفات إلى المعاني )
“Hukum asal dalam perkara ibadah bagi manusia adalah Ta’abudiyah (berhenti kepada dalil dan tidak bisa dianalogikan) tanpa melihat makna yang dikandung. Sedangkan asal masalah adat maka harus melihat kepada makna (sehingga bisa dianalogikan)”.

Kaedah ini disebutkan oleh Imam Asy Syatiby dalam al Muwafaqot : 5/205)

- Ibadah Mahdhoh (murni) seperti Sholat subuh 2 rekaat adalah perkara yang tidak bisa diketahui hikmah dan maknanya sehingga tidak bisa dianalogikan.

- Sedangkan perkara adat maka harus dilihat hikmah dan maknanya.

Perjalanan adalah masalah adat, sehingga harus dilihat makna dan hikmah mengapa wanita tidak boleh Safar tanpa mahrom. Dan kita dapatkan bahwa makna dan hikmah dilarangnya wanita Safar tanpa mahrom adalah bahaya dan tidak aman, sehingga kapan saja perjalanan yang tidak aman bagi wanita seperti tempat sepi atau banyak orang jahat maka ia harus bersama dengan mahrom, namun ketika kondisi Safar aman dan tidak bahaya maka sudah tidak larangan sudah tidak berlaku walaupun tetap yang terbaik bersama mahrom.

Semoga pembahasan ringkas ini bisa bermanfaat. Wallahu A’lam.

Abul Abbas Thobroni
(Mudir Ma’had Nida’us Salam Pekalongan)

Tidak ada komentar: