Puasa Sembilah Hari atau Hari Ke Sembilan ?


Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah memiliki keistimewaan, dimana amalan sekecil apapun pada hari hari tersebut lebih utama disisi Allah daripada BERJIHAD di jalan Allah yang dilakukan diluar sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, maka sangat dianjurkan untuk memperbanyak amalan amalan ibadah terutama, shalat, puasa, dzikir, membaca al Quran, sedekah dan ibadah ibadah lainnya yang disyari’atkan.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda :

مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ العَشْرِ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ : وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
“Tidaklah ada hari hari yang amal shalaih pada hari hari tersebut lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari pertama dibulan dzulhijjah. Maka para sahabat bertanya, “wahai Rasulullah apakah (amal shalih tersebut) lebih Allah cintai dari pada jihad fi sabilillah ?”. beliau menjawab, “iya walupun dengan jihad fi sabilillah, kecuali sesorang yang keluar (berjihad) dengan diri dan hartanya lalu tidak kembali setelah itu selamanya (syahid)” (HR Bukhari : 926, Abu Dawud : 2438, Ahmad : 1968)

Diantara amalan yang dianjurkan pada hari hari yang mulia ini adalah puasa, karena ibadah puasa adalah ibadah yang agung yang tiada bandingannya. Puasa yang dimaksud adalah puasa mutlak dari tanggal 1-9 Dzulhijjah , adapun pada tanggal 10 (idul adha) atau hari hari Tasyriq (11 -13 dzulhijjah) dilarang untuk berpuasa karena ia adalah hari raya, hari yang dianjurkan bergembira, sebagai hari makan dan minum . 

Adapun dalil atas disyariatkannya puasa di awal Dzulhijjah ini didasarkan pada riwayat dari Hunaidah bin Kholid, dari beberapa istri Nabi ﷺ mengatakan,

«كَانَ رَسُولُ الله ﷺ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ، وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ»
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, awal bulan di hari Senin dan Kamis.” (HR. Abu Daud : 2437 dan An-Nasa’i : 2374)

Yang dimaksud 9 (tis’ah) dalam hadits diatas adalah 9 hari bukan Taasi’ (hari ke-9), sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama di Lajnah Daaimah (majlis fatwa Saudi Arabia) ketika ditanya dalam masalah ini, mereka menukil perkataan Imam As Syaukani rahimahullah di kitab Nailul Authar :

وَقَدْ تَقَدَّمَ فِيْ كِتَابِ الْعِيْدَيْنِ أَحَادِيْثُ تَدُلُّ عَلَى فَضِيْلَةِ الْعَمَلِ فِيْ عَشْرِ ذِيْ الْحِجَّةِ عَلَى الْعُمُوْمِ، وَالصَّوْمُ مُنْدَرِجُ تَحْتَهَا، وَقَوْلُ بَعْضِهِمْ: إِنَّ الْمُرَادَ بِتِسْعِ ذِيْ اْلحِجَّةِ الْيَوْمَ التَّاسِعِ : تَأْوِيْلٌ مَرْدُوْدٌ، وَخَطأٌ ظَاهِرٌ لِلْفَرْقِ بَيْنَ التِّسْعِ وَالتَّاسِعِ.
Telah berlalu didalam kitab (pembahsan masalah) dua hari raya hadits hadits yang menunjukan keutamaan beramal ibadah di sepuluh awal bulan dzulhijjah sementara ibadah puasa adalah bagian dari ibadah yang mulia, adapun sebagian (ulama) mengatakan bahwa yang dimaksud Sembilan dzulhijjah itu adalah tanggal Sembilan, maka ini adalah penafsiran yang batil lagi tertolak, dan Nampak sekali kesalahannya karena beda antara Sembilan hari (tis’ah) dengan hari ke Sembilan (at Taasi’)” (lihat Fatwa Lajnah Ad Daaimah 9/308 no Fatwa : 20247).

Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 459).

Adapun hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata :

«مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ صَائِمًا فِي الْعَشْرِ قَطُّ»
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ berpuasa pada sepuluh hari (awal) bulan Dzulhijah sama sekali.” (HR. Muslim : 1176).

Hadits ini tidak lah menafikan berpuasa pada hari hari sepuluh di awal bulan dzulhijjah, karena bisa jadi Rasulullah ﷺ tidak melakukan itu karena sebab tertentu seperti sakit, atau karena memberatkan kepada umatnya karena khawatir di wajibkan.

Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam As Syaukani rahimahullah yang mengatakan :

وَأَمَّا مَا أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ  ﷺ  صَائِمًا فِي الْعَشْرِ قَطُّ " وَفِي رِوَايَةٍ: " لَمْ يَصُمْ الْعَشْرَ قَطُّ " فَقَالَ الْعُلَمَاءُ: الْمُرَادُ أَنَّهُ لَمْ يَصُمْهَا لِعَارِضِ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِمَا، أَوْ أَنَّ عَدَمَ رُؤْيَتِهَا لَهُ صَائِمًا لَا يَسْتَلْزِمُ الْعَدَمَ، عَلَى أَنَّهُ قَدْ ثَبَتَ مِنْ قَوْلِهِ مَا يَدُلُّ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ صَوْمِهَا كَمَا فِي حَدِيثِ الْبَابِ فَلَا يَقْدَحُ فِي ذَلِكَ عَدَمُ الْفِعْلُ.
“Adapun yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah radhiyallahu anha bahwasanya ia berkata, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ berpuasa pada sepuluh hari (awal) bulan Dzulhijah sama sekali.”. Dalam riwayat lain, Tidak pernah beliau berpuasa pada hari yang sepuluh (awal dzulhijjah). Para Ulama rahimahumullah berkata, yang dimaksud adalah beliau tidak berpuasa karena ada halangan sakit atau safar atau yang lainnya, atau tidak kelihatannya beliau berpuasa pada sepuluh hari awal dzulhijjah bukan berarti tidak boleh berpuasa karena telah tetap adanya pensyari’atan puasa pada hari hari tersebut sebagaimana didalam pembahasan hadits kita, maka tidak tercela pula bagi orang yang tidak melakukannya” (Nailul Authar 4/283).

Al Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan :

قَالَ الْعُلَمَاءُ هذا الحديث مما يوهم كراهة صوم العشر وَالْمُرَادُ بِالْعَشْرِ هُنَا الْأَيَّامُ التِّسْعَةُ مِنْ أَوَّلِ ذِي الْحِجَّةِ قَالُوا وَهَذَا مِمَّا يُتَأَوَّلُ فَلَيْسَ فِي صَوْمِ هَذِهِ التِّسْعَةِ كَرَاهَةٌ بَلْ هِيَ مستحبة استحبابا شديدا لاسيما التَّاسِعُ مِنْهَا وَهُوَ يَوْمُ عَرَفَةَ وَقَدْ سَبَقَتِ الْأَحَادِيثُ فِي فَضْلِهِ  وَثَبَتَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ إن رسول الله ﷺ قَالَ مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَفْضَلُ مِنْهُ فِي هَذِهِ يَعْنِي الْعَشْرَ الْأَوَائِلَ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ  فَيُتَأَوَّلُ قَوْلُهَا لَمْ يَصُمِ الْعَشْرَ أَنَّهُ لَمْ يَصُمْهُ لِعَارِضِ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِمَا  أَوْ أَنَّهَا لَمْ تَرَهُ صَائِمًا فِيهِ  وَلَا يَلْزَمُ من ذَلِكَ عَدَمُ صِيَامِهِ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ 
“Ulama berkata: Hadits ini termasuk yang salahfahami makruh puasa sepuluh hari, yang dimaksudkan sepuluh hari di sini adalah Sembilan hari dari awal Dzulhijjah. Para ulama berkata: hadits ini harus ditakwil (ditafsirkan) puasa Sembilan hari dari awal Dzulhijjah bukan makruh, bahkan sangat dianjurkan, apalagi tanggal 9, yaitu Hari Arofah, dan telah berlalu hadits-hadits tentang keutamaannya. Telah shahih di dalam (kitab) Shohih Bukhori, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Tidak ada hari-hari yang amal sholih lebih utama padanya daripada hari-hari ini”, yaitu sepuluh awal Dzulhijjah. Maka perkataan ‘Aisyah bahwa Nabi ﷺ tidak berpuasa pada sepuluh hari (di awal Dzulhijjah) ditakwil (ditafsirkan) bahwa beliau tidak berpuasa karena ada halangan sakit, atau safar, atau lainnya. Atau bahwa ‘Aisyah tidak melihat Nabi berpuasa padanya, tetapi itu tidak mengharuskan bahwa beliau benar-benar tidak berpuasa”. (Syarah Muslim, 8/71-72). 

Demikian semoga kita sekalian dimudahkan untuk mengamalkannya, wallahu waliyyut Taufiq. []

Oleh : Abu Ghozie As Sundawie

Tidak ada komentar: