Hadits dari Jundub bin Abdillah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ
"Barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur'an hanya dengan mengandalkan pikirannya semata maka dia telah salah meski hasilnya mencocoki kebenaran." (HR. Ath-Thabari "Jami'ul Bayan" 1/27, At-Tirmidzi 2952)
Meski keabsahan hadits ini diperbincangkan oleh para ulama akan tetapi maknanya shahih.
Yakni siapa yang menafsirkan Al-Qur'an hanya mengandalkan akal pikirannya semata atau pendapatnya pribadi, maka dia telah berdosa meski kesimpulannya mencocoki tafsir yang benar.
Dikatakan salah berdosa karena manhaj (metode) ia dalam menafsirkan ayat tidak mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabat beliau.
Di antara metode menafsirkan Al-Qur'an sebagaimana yang disebutkan para ulama yang pertama adalah dengan "kalamullah" yakni menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an.
Kemudian dengan "sunnah (petunjuk) Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam" karena Al-Qur'an diturunkan kepada beliau.
Kemudian dengan "penafsiran para shahabat radhiyallahu 'anhum" mereka adalah murid-murid Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang belajar langsung dari beliau dan beramal dengan ilmunya.
Utamanya Abu Bakr Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khatthab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy'ari, Abdullah bin Az-Zubair, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan yang lain.
Kemudian penafsiran para ulama tabi'in yaitu murid-murid para shahabat yang mereka mengambil ilmu langsung dari para shahabat Nabi seperti murid-murid Ibnu Abbas di Mekkah yaitu Mujahid, Sa'ad bin Jubair dan yang lain. Begitupula murid-murid Ibnu Mas'ud seperti Alqamah, Masruq dan yang lain.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, "Jika para tabi'in berijma' (bersepakat) dalam suatu masalah maka tidak disangsikan lagi itu adalah hujjah."
Apabila tidak dijumpai tafsir dari kalamullah, hadits, para shahabat, para tabi'in, baru kemudian menafsirkan Al-Qur'an sesuai makna syariat atau makna bahasa Arab sesuai konteks kalimat.
Alhasil, menafsirkan ayat bukan perkara sederhana dan tidak setiap orang punya kapasitas sebagai mufassir. Ada banyak disiplin ilmu yang harus dikuasai, lurusnya akidah, baiknya pemahaman, keahlian, dan yang paling penting adalah tawfiq dari Allah.
Al-Imam Muhammad bin Isa At-Tirmidzi rahimahullah berkata, "Sebagian ahli ilmu dari kalangan shahabat Nabi dan selain mereka sebagaimana yang diriwayatkan sangat keras pengingkarannya terhadap orang-orang yang menafsirkan Al-Qur'an tanpa ilmu atau dari pendapatnya pribadi." (Tuhfatul Ahwadzi 6/296)
Wacana bebas tafsir yang disuarakan sebagian kalangan hakikatnya ingin berislam menurut hawa nafsunya dan pembodohan seperti yang kita saksikan sekarang.
✍🏻 Ustadz Fikri Abul Hasan حفظه الله
📂 Manhajulhaq
Tidak ada komentar: