Dahulu Aku Seorang kuburiyyun yang disadarkan oleh Doktor Jamil Ghazi


Aku sering kali ragu untuk menulis pengakuan ini karena beberapa alasan… lalu akhirnya kulakukan juga karena beberapa alasan. Alasan maju dan mundur sebenarnya sama… Aku khawatir jika ada yang membaca judul tulisan ini lalu mengatakan: “Apa urusan kita dengan bualan mantan pemuja kubur?”… akan tetapi, mungkin juga ada pembaca yang memiliki kejiwaan sama denganku sebelum meluruskan keyakinanku… lalu mereka membaca pengakuan-pengakuanku dan memahaminya, kemudian beranjak dari kegelapan khurafat kepada cahaya akidah –dan itu cukup menjadi motivatorku untuk mengungkap jati diri di hadapan umum— selama hal itu menyebabkan datangnya hidayah kepada mereka tentang hakikat tauhid…

Sungguh, dahulu aku benar-benar seorang qubury sejati. Tiap kali aku mampir di suatu kota yang di sana ada kuburan atau makam seorang Syaikh (Kyai) besar siapa saja, serta merta aku thawaf di sekelilingnya… baik aku tahu tentang karamah syaikh tersebut atau tidak sama sekali. Bahkan terkadang aku mengarang sejumlah karamah untuknya… atau membayangkannya… atau mengkhayalkannya. Bila anakku lulus tahun ini… maka itu berkat sejumlah uang yang kubayarkan ke kotak nadzar[2]… dan bila isteriku sembuh dari sakitnya, itu berarti karena gemuknya domba yang kusembelih bagi Syaikh Fulan, Wali Allah itu ! . . .

Suatu ketika aku bertemu dengan Doktor Jamil Ghazi untuk membahas tentang pendirian sebuah majalah Islami yang memublikasikan tentang Yayasan Al Aziz Billah di Kairo. Yayasan ini nantinya akan menaungi sejumlah mesjid, dengan ‘tauhid’ dan ‘pelurusan akidah’ sebagai misi utamanya. Berhubung kami harus bertemu berulang kali, mau tidak mau aku harus ikut shalat Jum’at di mesjid Al Aziz Billah. Dengan santai dan sangat rasional, Doktor Jamil menyerang habis-habisan penyimpangan akidah yang demikian berbahaya ini. Ia menamainya sebagai ‘syirik kepada Allah’, alasannya karena manusia -yang melalaikan akalnya tersebut- meminta tolong kepada makhluk yang sudah mati !

Serangan dan kenyataan tersebut membuatku ketakutan… dan alangkah menakutkannya suatu hakikat bagi orang-orang yang lalai… Andai saja doktor Jamil mencukupkan sampai di situ, urusannya masih kuanggap ringan… akan tetapi tiap kali ia berkhutbah, ia pasti menyinggung masalah itu dengan ngotot . . . Bukankah kuburan hanya berisi orang mati saja, atau bahkan kosong dari tulang-belulang yang tidak bisa memberi manfaat maupun madharat sekalipun ?!

Awalnya aku terguncang dan seakan hilang keseimbangan… aku pulang ke rumah tiap usai shalat Jum’at dengan perasaan sedih… seakan ada sesuatu yang menekan dadaku dan membelenggu seluruh perasaanku… aku berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari perasaan tersebut. Benarkah selama bertahun-tahun ini aku berada dalam kesesatan ? Ataukah temanku yang doktor tadi terlalu berlebihan dalam masalah ini . . . sebab aku meyakini bahwa setiap orang yang mengucap syahadat tidak mungkin menjadi kafir hanya karena satu kesalahan atau keteledoran . . . !

Ada hal lain yang membuat hatiku membara dan mengusir ketenangan darinya . . . yaitu karena si doktor menempatkanku dalam sebuah front pertempuran secara langsung dengan para wali penghuni kubur; padahal para khatib senantiasa menyerukan dari atas mimbar siang dan malam, bahwa barang siapa berani mengganggu seorang wali, berarti ia terlibat perang dengan Allah subhanahu wa taala, dan ada hadits shahih yang mengatakan seperti itu . . . padahal aku tidak ingin sama sekali untuk melawan para penghuni kubur, sebab aku berlindung kepada Allah agar jangan sampai terlibat perang dengan-Nya !

Hatiku berkata: “Melawan adalah cara bertahan terbaik”… kubaca kembali beberapa halaman dari kitab Ihya’ Ulumiddien karya Al Ghazali, lalu beberapa halaman lagi dari kitab Latha-iful Minan karya Ibnu ‘Atha Al Iskandary… segudang karamah juga telah kuhafal di luar kepala, beserta nama para wali yang memilikinya sekaligus even-even terjadinya itu semua… Lalu pada Jum’at berikutnya aku berangkat. Kutahan emosiku selama mendengar ceramah si doktor, dan begitu ia selesai pengajian, ia bersikeras mengundangku makan siang.

Usai makan siang… kuberondong dia dengan seluruh argumentasiku tanpa henti, dengan bertumpu pada dua alasan: . . .

Pertama: karena aku telah menghafal banyak karamah para wali…

Kedua: aku yakin bahwa dia tidak akan gegabah dalam bersikap, atau melayangkan telapak tangannya yang tebal kepadaku, mengingat aku adalah tamu di rumahnya!

Kukatakan kepadanya –yang maknanya kurang lebih sebagai berikut- : “Tidak ada yang bisa memahami derajat para wali kecuali orang yang hatinya bersih dan transparan seperti mereka… mereka adalah orang-orang yang ikhlas kepada Allah, maka Allah khususkan untuk mereka sebagian ayat kebesaran-Nya yang tidak diberikan-Nya kepada orang lain… dan mereka begini… begitu… dan seterusnya…

Si doktor menunggu hingga aku selesai dengan ucapanku… aku merasa bahwa ia akan bungkam seribu bahasa, namun tiba-tiba ia mengatakan:

“Apakah menurutmu ada di antara syaikh (kyai/wali) tadi yang lebih mulia di sisi Allah dari Rasulullah?”

“Tidak…”, jawabku dengan tercengang.

“Kalau begitu, bagaimana dia bisa berjalan di atas air… atau terbang… atau memetik buah-buahan di Surga sedangkan ia berada di bumi… padahal Rasulullah tidak bisa melakukan itu semua?” tanyanya.

Sebenarnya itu sudah cukup untuk menyadarkanku… akan tetapi itulah fanatisme dan ta’asshub yang tercela!! Aku gengsi untuk menyerah dengan begitu mudah… bagaimana bisa kucampakkan pemikiran ‘Islami’ yang telah berumur lebih dari 30 tahun dalam diriku… walau mungkin saja itu semua keliru, akan tetapi aku memandangnya sebagai kebenaran, dan tidak ada kebenaran lain selain itu !!

Aku pun kembali membaca kitab-kitab yang memenuhi perpustakaan rumahku… lalu aku menemui si doktor dan kami tenggelam dalam diskusi hingga larut malam. Aku memang dahulu orang yang begitu gandrung dengan kaum sufi, mengapa? Karena aku suka dengan syair-syair mereka… cinta dengan musik mereka dan merdunya nyanyian mereka yang merupakan paduan dari seni tradisional dan campuran berbagai nyanyian klasik… dari budaya Timur, Persia, Mamalik[3], dan gendang Afrika yang kadang ditabuh sendirian… atau lantunan syair Mesir dengan nada sedih yang menggema dalam hati… ditambah syair-syair lain tentang perjumpaan dua orang kekasih di pagi hari…!

Karena alasan ini dan alasan-alasan lainnya, aku jatuh cinta pada ajaran sufi… banyak dari syair para wali qutub yang kuhafal di luar kepala, terutama Ibnul Faaridh. Semua argumentasi yang kuberikan untuk menghadapi si doktor ialah karena dia dan orang-orang sepertinya yang mengajak kepada tauhid, tidak ingin agama memiliki nilai spirit… mereka ingin menelanjangi agama dari seluruh khayalan… padahal mereka harus mencapai dulu peringkat para wali yang mendapat karomah tadi, baru mereka bisa memahami karomah-karomah tersebut…! Karena ombak tidak akan dilihat kecuali oleh yang melihat laut, dan gelora cinta tidak akan dirasakan kecuali oleh yang jatuh cinta… dan ini merupakan cara kaum sufi dalam berdalil . . .

Agar perasaanku tidak kacau, kuhentikan kunjunganku kepada si doktor… namun agaknya ia tidak membiarkanku… Aku terkejut saat kulihat dia mengetuk pintu rumahku… tak bisa kupercaya apa yang kulihat… benar, memang dialah yang datang… dia datang untuk menanyakan kabarku… dan seperti biasa kami tenggelam dalam obrolan yang panjang lebar…

Ketika dia menanyaiku tentang apa sebabnya aku tidak lagi hadir shalat Jum’at di mesjidnya… maka kukatakan dengan terus terang:

“Aku sudah putus asa denganmu”

“Tapi aku tidak putus asa denganmu… engkau adalah orang yang banyak kebaikannya”, jawabnya.

“Hmm… ini adalah trik lamanya untuk menarikku” kataku dalam hati, dan kulihat dia membawa sebuah buku tulisannya tentang biografi Imam Muhammad bin Abdul Wahhab.

“Biarlah buku ini untukku… boleh khan?” pintaku.

“Maaf, naskah yang ini bukan untukmu, tapi aku janji akan memberimu buku yang sama” jawabnya.

Memang begitulah triknya untuk membikin penasaran… ia selalu tidak memberi apa yang kuminta saat itu juga… tapi kurebut buku tersebut darinya dan tidak kukembalikan lagi !

Lewat tengah malam aku mulai membacanya… topik dan cara pembahasan buku itu benar-benar menarik perhatianku… aku sampai tidak tidur hingga fajar !

Meski ukuran buku itu cukup bersahaja, namun pengaruhnya seperti badai dan gempa… ia menyeret diriku menuju cakrawala yang baru… sejak berkisah tentang pribadi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, lalu kisah dakwahnya yang sarat dengan perjuangan dan penderitaan yang panjang… dadanya senantiasa memendam kasih sayang…

Hatiku selalu mengikuti baris demi baris pada setiap halaman yang kubaca… dan jika aku terpaksa menutup buku tersebut karena suatu hal yang perlu direnungi atau diteliti kembali dalam kitab lainnya, aku merasa berdosa; sebab aku meninggalkan Syaikh di kota Basrah (Irak) dan aku tak sabar untuk menantikan kepulangannya… atau aku meninggalkannya di Baghdad saat bersiap-siap untuk mengembara ke Kurdistan… akhirnya aku harus sabar untuk terus membaca hingga ia pulang dari perantauannya ke daerah asalnya…!

[1] Qubury artinya orang yang mengagungkan kuburan secara berlebihan, dan melakukan berbagai ritual ibadah padanya. Kisah ini disadur dari buku: “Kuntu Quburiyyan”, oleh Abdul Mun’im Al Jeddawi.

[2] Salah satu praktek syirik yang sering dilakukan para pengagum (pemuja) kubur adalah bernadzar untuk yang dikubur.

[3] Mamalik adalah sebuah daulah (negara) yang pernah berkuasa di Mesir sejak tahun 648 – 923 H.

bagian 2

Si doktor menyifatinya dalam buku itu sebagai ‘Pembaharu abad 12 Hijriah, Asy Syaikh Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab’.

Namun setelah berkeliling buana kesana kemari, apakah Syaikh mendapatkan apa yang dicari-carinya? Tidak. Sebab dunia Islam saat itu sedang diterpa gelombang kebodohan dan keterbelakangan secara merata. Syaikh terpaksa kembali ke daerahnya dengan perasaan sedih akan apa yang menimpa kaum muslimin berupa kemunduran dan kondisi yang bertolak belakang dalam semua lini kehidupannya.

Ia kembali ke daerahnya dengan fikiran yang menggelayutinya siang dan malam… Mengapa ia tidak mengajak manusia kembali kepada Allah?

Mengapa ia tidak mengingatkan mereka dengan ajaran Rasulullah?

Mengapa… dan mengapa…?

Jadi, akidah yang hendak ditanamkan oleh Si doktor ini bukan muncul begitu saja. Karena sejak abad ke-12 Hijriah, Imam Muhammad bin Abdul Wahhab telah memikirkan dan melangkah untuk menghancurkan bangunan-bangunan megah di atas kuburan tersebut… menghapus segenap khurafat yang menghantui pola pikir masyarakat… dan mengusir para dukun yang menjatuhkan nama baik ajaran Islam, lewat ramalan sampah mereka yang makin hari makin dianggap keramat… kaum muslimin demikian takut untuk sekedar berfikir bagaimana menghilangkan itu semua… dan hal ini diungkapkan oleh si penulis lewat kata-kata berikut: “Kiranya sejauh mana pengaruh sepak terjang beliau tadi di hati masyarakat?” Hal ini dijawab oleh para sejarawan sebagaimana yang dinukil Ustadz Ahmad Husein dalam bukunya “Musyaahadati fi Jaziratil Arab”[1]: “Masyarakat tidak mau diajak untuk menebang pohon-pohon dan kubah-kubah yang dikeramatkan tersebut… mereka sengaja membiarkan Syaikh melakukan hal itu seorang diri, agar bila beliau kualat beliau tanggung sendiri akibatnya… !”.

Apakah yang mengguncang kepribadianku sekarang adalah rasa takut yang kuwarisi sejak dulu? Yang menjadi alasan serupa bagi warga kota ‘Uyainah (daerah asal Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) untuk membiarkan Syaikh menebang pepohonan dan kubah yang ada di makam Zaid bin Khatthab seorang diri… alias karena mereka takut terkena berbagai kutukan dari penghuni tempat-tempat yang keramat tadi ??

Aku pun terus membaca… dan bersamaan dengan tiap halaman, kurasa bahwa aku telah menyingkirkan sebuah batu besar dari dinding khayalan dalam relung hatiku… dan ketika aku sampai di pertengahan buku, seakan terbukalah sebuah celah besar dalam diriku, dan dari situ menyelinaplah seberkas cahaya keyakinan… akan tetapi, di tengah tumpukan kegelapan yang telah mengakar dalam diriku, kilauan cahaya tadi sempat muncul sesaat dan redup kembali untuk beberapa saat…!

Memang, Si doktor lah yang menang… ia membiarkanku untuk memerangi diriku sendiri, bahkan menjadikanku rajin mengikuti perkembangan dakwah tauhid bersama gurunya, yaitu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Aku merasa iba kepada beliau akibat makar-makar yang dilancarkan kepadanya dan para pengikutnya… bayangkan, ketika ia menegakkan hukum had (cambuk/rajam) atas seorang wanita yang berzina di kota ‘Uyainah, tiba-tiba Sulaiman bin Muhammad bin Abdul Aziz Al Humeidy penguasa daerah Ahsa’[2] naik pitam… Ia mencium bahaya dari ajaran baru tersebut dan tokohnya… Maka ia langsung menyurati penguasa ‘Uyainah yang bernama Utsman bin Mu’ammar, dan menginstruksikan kepadanya untuk menghentikan dakwah tersebut dan membunuh tokohnya, agar ‘Uyainah segera kembali ke pangkuan takhayul dan khurafat.

Berhubung Utsman bin Mu’ammar telah menjalin hubungan besan dengan Syaikh –karena ia menikahkan puterinya dengan Syaikh-… ia pun tak tega untuk membunuhnya, namun ia memanggilnya ke sebuah pertemuan tertutup dan membacakan kepadanya surat dari penguasa Ahsa’, dan menunjukkan raut muka penuh keputusasaan di wajahnya seraya mengatakan bahwa ia tidak kuasa untuk membangkang terhadap perintah bosnya, sebab ia tidak sanggup melawannya… boleh jadi, itu adalah keputusasaan yang menyadarkan Syaikh bahwa Bin Mua’mmar tidak beriman sepenuhnya terhadap dakwah tauhid. Akan tetapi hal itu justeru menjadikan Syaikh semakin tegar dengan akidah dan tauhidnya… memang, penguasa-penguasa thaghut selamanya akan memerangi para penyeru kebenaran…

Syaikh pun terpaksa harus meninggalkan kota ‘Uyainah sebagai muhajir fi sabilillah membawa akidah tauhidnya, untuk mencari daerah baru yang siap ditanami !

Pagi harinya, aku terbangun dari tidur seiring dengan suara ribut dari dalam rumah yang tidak wajar… aku beranjak duduk di atas kasur, dan terdengar olehku suara-suara aneh… bukan murni suara manusia, namun bukan pula binatang… ada embikan kambing, teriakan manusia… dan kata-kata yang tidak jelas apa maksudnya… dalam hati kukatakan: “Ini pasti sisa-sisa dari mimpi burukku tadi malam”… akupun memastikan kesadaranku, akan tetapi kali ini suara embikan benar-benar menerjang gendang telingaku… kulihat isteriku masuk kamar membawa berita-berita yang sangat menggembirakan… yang intinya ialah bahwa puteri bibiku –yang tinggal di ujung kota Sha’ied (Gurun di Mesir), bersama suami dan anak lelakinya yang berumur tiga tahun—telah tiba dengan menumpangi kereta Sha’ied tadi pagi, dan mereka membawa seekor ‘domba’ !

Mulanya aku mengira isteriku sekedar bercanda… atau bahwa puteri bibiku –yang selama ini selalu kematian anaknya di usia balita— telah menamakan salah seorang anaknya dengan nama ‘domba’ misalnya, agar anak itu hidup… dan ini merupakan tradisi terkenal di daerah Sha’ied. Namun sebelum masalahnya jadi jelas… aku mendengar suara demonstrasi anak-anakku yang mendekati kamar tidurku… dan tiba-tiba tanpa minta izin terlebih dahulu, pintu kamar diterjang oleh seekor ‘domba’ lengkap dengan bulu, tanduk dan keempat kakinya…!

Ia menerjang kesana kemari seperti kambing gila karena dikejar-kejar oleh anak-anakku… semua yang ada melintang di hadapannya ia tabrak… lalu ia menuju cermin, dan dengan sekali lompat ala jagoan, cermin itu ditanduknya dengan keras hingga hancur berkeping-keping dengan suara pecahan yang luar biasa…

Itu semua terjadi sangat cepat sebelum aku selesai mengatur nafas… terbayang olehku bahwa rumahku sedang berada di tengah kebun binatang… padahal aku tinggal di Abbasiyah, dan kebun binatang terletak di Giza… akan tetapi aku tiba-tiba lompat dari atas kasur… agaknya isteriku mulai takut akan pemberontakan si domba… ia mundur dan terpojok di sudut rumah, lalu memberiku isyarat dengan matanya sembari memberanikan diriku untuk menghadapi binatang gila tersebut… binatang yang telah mengganggu kesunyian rumah kami…

Akan tetapi suara pecahan kaca yang berhamburan ke mana-mana justeru membuatnya semakin mengamuk… kedua mata dan tanduknya memancarkan maut… dan otakku langsung membayangkan atraksi para matador saat menghadapi amukan banteng… kupegang kasurku erat-erat… Namun sebelum aku berlagak bak matador jagoan melawan si ‘domba’, tiba-tiba puteri bibiku masuk ke kamar dengan raut muka sebal… ia mengira bahwa aku hendak membunuh domba itu… setelah yakin bahwa aku akan melawan si domba, ia berteriak: “Hei ingat ! ini adalah domba untuk Sayyid Badawi[3]“. Ia pun memanggil domba tersebut dan si domba berjalan dengan manja kepadanya -persis seperti anak kecil yang manja-, lalu dipegangnya. Ia lantas menuturkan bahwa ia datang dari Sha’ied membawa domba yang gagah perkasa ini, setelah merawatnya selama tiga tahun, yang berarti seumuran dengan puteranya. Itu semua karena ia telah bernadzar kepada Sayyid Badawi, bahwa jika anaknya hidup ia akan menyembelih seekor domba di gerbang makamnya, dan besok lusa adalah tahun ketiga, alias waktu pelaksaaan nadzar…!

Ia mengungkapkan semua itu dengan bahagia, lalu beranjak ke ruang tamu menemui suaminya yang sedang bersuka cita. Suaminya memintaku untuk menemaninya pergi ke Tanta[4], guna menyaksikan perayaan akbar, dan berhubung jarak perjalanan cukup jauh, mereka mencukupkan diri dengan seekor domba saja… sedangkan yang berada dekat dengan makam Sayyid Badawi, mereka datang membawa unta !

Terpaksa aku harus melayani puteri bibiku dengan baik agar anaknya tetap hidup, sebab jika tidak, aku akan dianggap memutus tali silaturahmi…

Bagiku, tidak penting apakah anaknya akan hidup atau mati, sebab mau tidak mau aku harus pergi bersama mereka ke perayaan syirik… dan di saat yang sama, aku bertanya kepada diriku: “Bagaimana cara menyadarkannya bahwa perjalanan ini akan menghantarkannya pada kekafiran? Apakah kiranya yang terjadi bila angan-angan indahnya selama tiga tahun ini kupupuskan…?

Kurasa aku harus memulai dari suaminya terlebih dahulu, sebab lelaki adalah pemimpinnya wanita… maka kuajak suaminya ke pojok rumah dan sengaja kubiarkan dia melihat buku ‘Imam Muhammad bin Abdul Wahhab’ yang kubawa… ia mengulurkan tangannya dan membalikkan halaman judul ke hadapannya… dan begitu membaca judulnya, ia terperanjat seakan memegang bara api !

Ia membaca judul buku yang menyebutkan bahwa isinya adalah kisah tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya… ia pun berteriak lantang: “Buku apa ini…? Bagaimana buku ini sampai kepadaku…? Pasti ada seseorang yang sengaja menyusupkannya kepadaku !!

Itu karena ia tahu persis bahwa aku adalah orang yang stabil, perhatian terhadap agama dan terhadap ziarah ke makam para wali, termasuk menyalakan lilin, mengucapkan nadzar, dan kadang mempersembahkan kurban baik yang masih hidup atau yang telah disembelih ke makam para wali tersebut… persis seperti yang dilakukannya.

Kulihat kedua matanya menatap penuh kesedihan, karena takdir membawaku kepada buku tersebut… nampaknya aku harus menyikapinya sebagaimana doktor Jamil Ghazi menyikapiku sebelum ini…. Dan agaknya, Allah menginginkan kejadian ini sebagai ujian atas diriku: mampukah aku mengamalkan apa yang kubaca ataukah tidak? Dan apakah aku mengerti dan meyakini apa kubaca ataukah tidak? Dan yang terpenting dari itu semua ialah: sejauh mana aku bisa bersikeras memegang keyakinanku dan meyakinkan orang lain akan keyakinan tersebut? Sebab orang yang tidak bisa mempengaruhi lingkungan tempat tinggalnya, berarti akidahnya selalu terancam. Karena sangat tidak masuk akal jika aku harus mengurung keyakinanku untuk diriku sendiri, dan membiarkan orang lain hidup dalam kesesatan. Sebab tak lama lagi mereka bakal menenggelamkanku dalam khurafat mereka.

Oleh karena itu, aku harus mendebat mereka dengan cara yang baik. Tak boleh kubiarkan mereka merasa bahwa ini adalah perkara sepele. Aku harus membuat mereka lari dari kemusyrikan dan rujuk kepada kebenaran. Sebab khurafat yang dibangun di atas kesesatan yang rapuh, akan segera hancur begitu dihinggapi sedikit keraguan. Dan bila ia dikejar terus oleh kebenaran yang pantang mundur, kebenaran tadi akan mengalahkannya, atau minimal menghentikan laju penyebarannya hingga tidak menular ke orang lain.

Untuk itu semua, kuputuskan untuk bertawakkal kepada Allah dan mulai menjelaskan duduk perkara ini kepada suaminya. Ternyata, ini bukanlah perkara mudah, sebab aku harus menenangkannya terlebih dahulu, dan menghapus citra buruk yang melekat pada dirinya tentang biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Aku harus menghapus ideologi yang mendarah daging di benaknya tentang ajaran Wahhabi dan pengikutnya.

Di awal pembicaraan, ia menuduh Syaikh dengan sederet tuduhan yang Allah tahu bahwa dakwah tauhid beliau bersih dari semua tuduhan tadi, sebagaimana bersihnya serigala dari darah Yusuf u !

Aku pun mencoba dengan penuh semangat untuk menjelaskan kepadanya rahasia di balik gelombang kebencian yang dihembuskan sebagian kalangan kepada dakwah tauhid beliau… kujelaskan bagaimana dakwah tersebut menghidupkan kembali syiar-syiar Islam, dan pokok-pokok ibadah, dan sekaligus memberangus para pendusta dan pelindung kuburan yang menumpuk kekayaan dari tahun ke tahun, dengan menjual berkah dan membagi-bagikan pahala kepada mereka yang mencari ‘kursi’ di Surga… mengingat kursi di Surga sangat terbatas, dan waktu pemesanan telah dekat… !! Laa haula walaa quwwata illa billaah …

Dari raut mukanya, aku bisa melihat pertanda baik… ia memandang dengan tercengang, seakan orang pingsan yang baru siuman… pun demikian, ia bangkit menggeliat untuk membela para wali yang sedang ‘tidur’ dalam kubur mereka, yang dianggap mampu mengatur alam semesta lewat ruh mereka, dan setiap malam Jum’at mereka diundang untuk menghadiri pertemuan bersama Wali Qutub… termasuk di antaranya wali-wali wanita yang terkenal, juga bertemu dengan yang laki-laki, lalu sama-sama membahas problematika dunia … !!

Aku memang tidak terlalu optimis untuk mengalihkan dia dari keyakinan yang telah mengakar selama lebih dari 30 tahun dalam dirinya… kucukupkan dengan memintanya untuk berfikir tentang satu hal… apakah para wali yang berada dalam kuburan tersebut lebih mulia di sisi Allah dari Rasulullah?!! Kuminta ia untuk merenungkan agak lama dan memberikan jawabannya kepadaku, tanpa bersikap fanatik atau berat sebelah… ia pun berjanji untuk memikirkan hal tersebut, namun ia hanya meminta kepadaku agar mau menemaninya dalam ‘perjalanan suci’ mereka ke Tanta.

Maka kukatakan kepadanya: “Inilah perkara mustahil yang tak mungkin terjadi”… dan bila ia bersikeras untuk pergi bersama isterinya menziarahi Sayyid Badawi dengan maksud agar putera mereka tetap hidup, berarti satu-satunya makna yang tersirat dari itu semua ialah bahwa umur manusia berada di tangan Sayyid Badawi…

Ia memelototiku seraya berteriak: “Hei, jangan kafir kamu…!!”

“Memang siapa di antara kita yang kafir sekarang? Aku yang mengajakmu untuk meminta kepada Allah, ataukah kamu yang bersikeras untuk tetap meminta kepada Sayyid Badawi?” tanyaku.

Ia pun diam dan menganggap kata-kataku tadi sebagai sikap yang tidak sopan terhadap tamu. Ia lantas membawa isteri, anak, dan dombanya; lalu pergi meninggalkan Abbasiyah Kairo menuju ke Tanta… sembari aku berdiri melepas kepergian mereka, aku berbisik di telinga si suami bahwa jika ia bersedia tidak mampir ke rumah kami sepulangnya dari perayaan syirik nanti, maka aku sangat berterima kasih kepadanya… sebab jika tidak, ia akan mendapati hal-hal yang tidak mengenakkan dariku…Ia pun semakin kaget… kemudian rombongan pun berlalu membawa domba mereka menuju Tanta.

Kontan isteriku muring-muring mengomeliku karena sikapku yang kasar terhadap mereka, padahal mereka demikian mengkhawatirkan putera mereka yang bertahan hidup, sedangkan anak-anak mereka sebelum ini tidak ada yang bertahan hidup, dan mereka telah lanjut usia…

Kukatakan secara lantang kepada isteriku, bahwa jika anak mereka tetap hidup, itu karena Allah menghendakinya untuk tetap hidup; dan bila ia mati, itu karena Allah menginginkannya mati… tidak ada sekutu bagi-Nya dalam setiap perintah maupun keinginan-Nya.

Aku lantas pergi ke kantor surat kabar tempatku bekerja. Tiba-tiba si doktor menghubungiku via telepon untuk membicarakan suatu urusan denganku… sama sekali tidak terlintas di benaknya untuk bertanya kepadaku tentang apa pengaruh buku itu terhadapku atau apa yang kuperbuat dengannya… maka terpaksa kukatakan kepadanya bahwa aku sangat perlu untuk mendiskusikan beberapa hal di buku itu denganmu.

Kami pun bertemu malam harinya dan kuceritakan padanya tentang bencana yang menghampiriku dari Sha’ied. Ia sama sekali tidak berkomentar tentang usahaku untuk meyakinkan mereka agar meninggalkan kemusyrikan mereka… padahal beberapa hari yang lalu kemusyrikanku tidak lebih kecil dari mereka… kukatakan kepadanya: “Tidakkah aneh menurutmu jika aku mengatakan kepada mereka apa yang kau katakan kepadaku…?”

Dengan tenang dan menggemaskan ia mengatakan bahwa dia telah yakin jika aku akan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi dakwah tauhid… aku pun ingin membela diri ketika dianggap sebagai ‘sesuatu’ dan bukan sebagai manusia… akan tetapi si doktor tidak berhenti, dan berkata: “Ini semua kau lakukan setelah membaca separuh buku, lantas bagaimana jika kau baca buku-buku lainnya?!” sambil tertawa terbahak-bahak !!

[1] Artinya: Apa yang Kusaksikan di Jazirah Arab.

[2] Ahsa’ adalah sebuah wilayah di timur Arab Saudi, yang sekarang dikenal dengan nama Mantiqah Syarqiyyah. Kala itu, kota Uyainah berada di bawah pengaruh kuat penguasa Ahsa’, ibarat sebuah kota yang berada di bawah pengaruh gubernur propinsi tempat kota itu berada.

[3] Sayyid Ahmad Badawi (596-675 H) adalah salah seorang yang diyakini sebagai wali dan kuburannya sangat dikeramatkan oleh para quburiyyin dan orang-orang sufi, terutama di Mesir. Tiap tahunnya,  kuburannya dikunjungi oleh jutaan manusia untuk bernadzar dan meminta macam-macam kepadanya. Sayyid Badawi lahir di Fas, Maroko dan wafat di Tanta, Mesir dan dimakamkan di sana. (lihat: Al A’laam tulisan Az Zerekly 1/175).

[4] Sebuah kota yang menjadi ibukota wilayah barat Mesir. Ia terletak 92 Km di sebelah utara Kairo dan 120 Km di selatan Alexandria.

Diterjemahkan Oleh:
Ustadz Abu Hudzaifah Sufyan Baswedan, Lc., MA

Tidak ada komentar: