Pertanyaan yang sering ditanya seputar kurban dan puasa arafah

Cara Pembagian Daging Kurban

Pertanyaan ❓

Assalamu'alaikum...ustd,ana mau tanya tentang cara pembagian daging qurban,berapa yg harus di terima oleh yg berqurban,terus jika yg berqurban tidak mengambil daging kurban tersebut hukumnya gimana.....
(MDS 3)

Jawaban

Kebanyakan ulama menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan bersedekah dengan sepertiga hewan qurban, memberi makan dengan sepertiganya dan sepertiganya lagi dimakan oleh dirinya dan keluarga.Namun riwayat-riwayat tersebut sebenarnya adalah riwayat yang lemah. Sehingga yang lebih tepat hal ini dikembalikan pada keputusan orang yang berqurban (shohibul qurban). Seandainya ia ingin sedekahkan seluruh hasil qurbannya (tidak mengambil sedikitpun daging kurbannya) hal itu diperbolehkan.

Intinya, pemanfaatan hasil sembelihan qurban yang dibolehkan adalah :

1. Dimakan oleh shohibul qurban.
2. Disedekahkan kepada faqir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka.
3. Dihadiahkan pada kerabat untuk mengikat tali silaturahmi, pada tetangga dalam rangka berbuat baik dan pada saudara muslim lainnya agar memperkuat ukhuwah.

Wallahu a'lam.

seputar kurban dan puasa arafah

Kurban Dengan Kerbau

Pertanyaan ❓

Kalau qurban nya kerbau bgmn pa Ustadz ? (MDS 2)

Jawaban ✅

Para ulama menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya dianggap sebagai satu jenis . Dengan demikian berqurban dengan kerbau hukumnya sah.

Satu Kurban Untuk Satu Keluarga

Pertanyaan ❓

Assalaamu 'alaikum wa rohmatulloohi wa barokaatuh.

ustaadz. ana mau tanya. tentang satu kurban yg pahalanya utk satu keluarga ini maksudnya mencakup siapa saja? apa maksudnya keluarga yg mahrom saja atau keluarga inti saja (ayah ibu anak), atau bagaimana ustaadz? ini yg ana masih blm dpt jwbn tegas ttgnya.

syukron. jazaakumulloohu khoiron.

Jawaban ✅

Udhiyah disyariatkan kepada setiap keluarga. Seekor kambing cukup untuk kurban satu keluarga, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.

Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits dari Abu Ayyubradhiyallahu’anhu yang mengatakan,
كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
”Pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai kurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi, ia menilainya shahih, Minhaajul Muslim, Hal. 264 dan 266).

Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan kurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu. Misalnya, kurban tahun ini untuk bapaknya, tahun depan untuk ibunya, tahun berikutnya untuk anak pertama, dan seterusnya. Sesungguhnya karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.

Kesimpulannya sebatas tinggal dalam satu rumah, tidak bisa dikatakan sebagai ahli bait (keluarga). Batasan yang mungkin lebih tepat adalah batasan yang diberikan ulama Madzhab Maliki. Sekelompok orang bisa tercakup ahlul bait (keluarga) kurban, jika terpenuhi tiga syarat: tinggal bersama, ada hubungan kekerabatan, dan tanggungan nafkah mereka sama dari kepala keluarga.

Wallahu a'lam.

Puasa Arafah Terkait tempat Atau Waktu

Pertanyaan ❓

Afwan ustadz.. ana member yg masih awam.. mohon pencerahan apakah puasa arafah itu terkait tempat atau terkait waktu ustadz... semoga Allah membalas ustadz dengan kebaikan dan menjaga ustadz dan keluarga serta memberkahi ilmu ustadz..

Jawaban ✅

Puasa Arafah itu terkait dengan "waktu saja" dan tidak terkait dengan "tempat"

Buktinya Nabi tidak menjadikan wukuf di Arafah sebagai patokan ketika beliau dan para sahabatnya puasa Arafah pada tahun ke 2 H, 3 H dst. Tetapi beliau dan para sahabatnya hanya menentukan puasa Arafah dengan ru'yah hilal penduduk Madinah.

Puasa Arafah tanggal 9 dzulhijjah itu telah disyari'atkan jauh sebelum Rasulullah melaksanakan ibadah haji. Puasa Arafah tanggal 9 dzulhijjah sudah disyari'atkan sejak awal beliau berhijrah ke Madinah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menamakan puasa 9 dzulhijjah dengan puasa Arafah meskipun kaum muslimin belum melaksanakan ibadah haji dan ibadah haji baru beliau kerjakan di tahun ke 10 H.

Pada tahun ke 2 H, ke 3 H, ke 4 H dan ke 5 H Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat telah melaksanakan puasa tanggal 9 dzulhijjah tanpa ada seorang pun yang melaksanakan wukuf di Arafah. Saat disyari'atkan, puasa Arafah tidak dikaitkan dengan peristiwa wukuf di Arafah.
(lihat Zaadul Ma'aad II/101 oleh Imam Ibnu Qayyim, Fathul Baari III/442 oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dan Subulus Salam I/60 oleh Imam ash-Shon'ani).

Dari Hunaidah bin Khalid, dari istrinya, dari sebagian istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :

"Dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpuasa pada tanggal 9 dzulhijjah, hari 'Asyuraa' dan 3 hari setiap bulan yaitu hari senin pada awal bulan dan 2 hari kamis". (HR.Abu Dawud no.2437, Ahmad no.2269, an-Nasaa'i no.2372 dan al-Baihaqi IV/284, lihat Shahiih Sunan Abi Dawud).

✔ Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa beliau berpuasa pada tanggal 9 dzulhijjah (untuk puasa Arafah) dan itu dilakukan sebelum beliau haji wada' tahun 10 H. Dan lafazh itu menunjukkan rutinitas sebuah amalan.

[2]. Puasa Arafah itu terkait dengan "waktu saja" dan tidak terkait dengan "tempat".

Buktinya tidak ada satu pun riwayat bahwasanya beliau ketika di Madinah bersungguh-sungguh untuk mencari tahu kapan waktu wuquf jama'ah haji di Arafah.

✔ Jadi, Nabi berpuasa Arafah di Madinah selama bertahun-tahun tanpa mengacu kepada ada atau tidak adanya wuquf di Arafah.
Jika di Madinah sudah masuk tanggal 9 dzulhijjah menurut hitungan mereka, maka beliau bersama para sahabat berpuasa Arafah dan tidak memakai ru'yah hilal penduduk Mekkah.

✏ [3]. Puasa Arafah itu terkait dengan "waktu saja" dan tidak terkait dengan "tempat".

Buktinya Nabi bersabda kepada kaum muslimin untuk menentukan hilal (awal bulan) dzulhijjah dengan ru'yah sebagaimana kita juga melakukan ru'yah ketika akan menentukan awal Ramadhan dan awal Syawwal.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Apabila kamu telah melihat hilal (yaitu awal bulan) dzulhijjah dan salah seorang diantara kamu hendak berkurban, maka jangan sekali-kali kamu memotong rambutnya dan jangan pula memotong kukunya sampai hewan kurban itu disembelih". (HR.Muslim no.1977 (41 & 42), hadits dari Ummu Salamah).

✔ Nampak dengan jelas pada hadits ini bahwa 'Idul Adha dikaitkan dengan terbitnya hilal, sedangkan waktu terbitnya hilal di setiap negeri berbeda dengan negeri lainnya (sebagaimana yang kita pahami ketika menentukan awal Ramadhan dan awal Syawwal).

Dengan demikian, 'Idul Adha dikaitkan dengan waktu (awal hilal) dan bukan dengan aktifitas jamaah haji di Arafah.

Dengan demikian, maka puasa Arafah juga dikaitkan dengan waktu (awal hilal) dan bukan dengan aktifitas jamaah Haji di Arafah.

[4]. Puasa Arafah itu terkait dengan "waktu saja" dan tidak terkait dengan "tempat".

Buktinya jika seandainya terjadi bencana atau peperangan sehingga jamaah haji tidak bisa wukuf di Arafah pada tahun itu, bukankah puasa Arafah tetap bisa dilakukan meskipun jamaah haji tidak ada yang wukuf di Arafah ? Kenapa ? Karena patokan puasa Arafah itu bukan wukufnya jamaah haji tapi tanggal 9 dzulhijjah.

[5]. Ke 4 alasan tadi dan alasan lainnya adalah pendapat dari seluruh ulama dari zaman ke zaman selama ratusan tahun.

[6]. Tetapi setelah adanya teknologi informasi beberapa tahun belakangan maka mulailah muncul pendapat yang berkata kita harus mengikuti puasa Arafah dengan berpatokan kepada jama'ah haji yang sedang wukuf di Arafah.

[7]. Para ulama berkata bahwa pendapat ini tidak kuat karena menyelisihi alasan-alasan diatas, sehingga mereka tetap dengan pendapat semula meskipun sudah ketahuan kapan wukuf di Arafah.

KESIMPULAN :

✔ Dari semua penjelasan diatas maka diambil kesimpulan bahwa berpuasa Arafah (yaitu tanggal 9 dzulhijjah) dan berhari raya 'Idul Adha dengan mengacu kepada terlihatnya hilal (awal bulan) di negara masing-masing.

✔ Dan ini juga merupakan pendapat dari al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolaani, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Syaikh al-Utsaimin, Syaikh DR. 'Abdullah bin Jibrin, Syaikh DR.Hanii bin Abdullah, Syaikh DR Ahmad al-Haji al-Kurdi, Syaikh DR Khalid al-Musyaiqih, Syaikh DR Khalid al-Muslih, Syaikh DR Anis Thohir al-Indunisy dll.

Wallahu a'lam.

Dijawab Oleh : Abu Syamil Humaidy ﺣﻔﻈﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ
{ Admin Grup MDS - MF - MNM }

join https://t.me/MuliaDenganSunnah

Tidak ada komentar: