Hukum mengenakan dasi ketika berpakaian

Permasalahan mengenakan dasi adalah permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama zaman sekarang. Mereka berselisih, apakah dasi termasuk pakaian yang menyerupai orang kafir ataukah tidak? Apakah dasi memiliki latar belakang keagamaan di suatu agama tertentu ataukah tidak?

Dari perselisihan tersebut menghasilkan dua pendapat di kalangan ulama. Ada yang mengatakan boleh dan ada yang mengatakan haram.

Perlu kita ketahui bahwa hukum asal dalam berpakaian dan memakai perhiasan adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya. Dan masing-masing pakaian seseorang dikembalikan kepada adat daerah masing-masing. Begitu juga suatu jenis pakaian yang tadinya tidak menjadi adat kemudian menjadi adat masyarakat suatu daerah, maka hukum asalnya adalah tidak mengapa mengenakannya.

Ketika kita ketahui hukum asal dari berpakaian adalah boleh selama tidak ada yang melanggar syariat, maka kita perlu mengetahui dalil-dalil yang dipergunakan oleh para ulama yang mengharamkannya.

Para ulama yang mengharamkannya berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut:

Dasi adalah pakaian yang tadinya menyebar di negara-negara kafir, kemudian menyebar ke negara-negara kaum muslimin. Kita dilarang untuk meniru-niru pakaian mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa meniru-niru suatu kaum maka dia termasuk di kalangan mereka”. (HR Ahmad 5115 dan Abu Dawud no. 4033 dari Ibnu ‘Umar. Dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani)

Hukum mengenakan dasi ketika berpakaian

Adapun penyebarannya sudah menjadi adat yang diikuti oleh orang-orang Islam sekarang ini, bahkan di dalam acara-acara resmi, maka tidak mengubah hukum bahwasanya itu tetaplah bentuk penyerupaan kepada pakaian orang-orang kafir.

Sebagian ulama yang berpendapat bahwa ini haram, berdalil bahwa hukum asal dasi adalah kalung salib yang digantungkan di leher-leher orang nasrani, kemudian dia dibentuk untuk menyerupainya dengan kain, sehingga sekarang menjadi dasi yang dikenal. Jika ini merupakan asal dari dari dasi, maka tidak boleh mengenakannya karena di dalamnya ada unsur keagamaan orang Nasrani.Jika dipikir dengan jeli, maka tidak ada manfaat yang didapatkan dari menggunakan dasi kecuali hanya sekedar perhiasan di leher dan di depan dada. Dan ini tadinya tidak dikenal di negeri kaum muslimin dan ini menunjukkan orang-orang melakukannya hanya untuk meniru-niru adat orang kafir.

Para ulama yang berpendapat haramnya mengenakan dasi, di antaranya adalah sebagai berikut: Syaikh Al-Albani, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbad, Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili dan lain-lain rahimahumullah al-jamii’.

Para ulama yang membolehkan berdalil dengan dalil-dalil berikut:

Hukum asal dari berpakaian adalah dibolehkan.Ini tidak termasuk bentuk penyerupaan dengan orang-orang kafir karena untuk saat ini dasi sudah menjadi pakaian yang dipakai oleh orang muslim dan orang kafir dan tidak menjadi ciri-ciri orang kafir.Di dalam dasi tidak terdapat masalah di dalam syariat, selama dia bukan terbuat dari sutra, emas, najis dan lain-lain yang dilarang oleh syariat.

Para ulama yang berpendapat bolehnya mengenakan dasi, di antaranya adalah sebagai berikut: Lajnah Ad-Daa-imah Lil-Buhuts Al-‘Ilmiyah Wal-Iftaa’, yang fatwa ini ditandatangani oleh: Syaikh ‘Abdul-Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdur-Razzaq ‘Afifi, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan dan Syaikh ‘Abdullah bin Qa’ud. 

Para ulama tersebut menyebutkan bahwa hukum asal dari pakaian adalah boleh kecuali yang dijelaskan keharamannya secara mutlak seperti emas dan sutra untuk laki-laki. Boleh memakai pakaian selama tidak diniatkan untuk meniru-niru pakaian orang-orang kafir, begitu pula dengan dasi, beliau-beliau menegaskan bahwa pakaian tersebut bukanlah pakaian khusus orang kafir, sehingga hukumnya adalah boleh, kecuali seseorang memakainya dengan niat meniru-niru orang kafir, maka tidak diperbolehkan. (Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daimah. Al-Majmu’ah Al-Ula. XXIV/40-41)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah lebih condong kepada pendapat yang membolehkan.
Allahu a’lam bishshawab, dengan melihat kedua pendapat di atas, maka kita ketahui bahwa ini adalah permasalahan yang sifatnya ijtihad, yang mana seorang ulama bisa benar dan bisa salah di dalam menghukuminya, dan sudah sepantasnya kita bisa berlapang dada dalam menyikapi perselisihan seperti ini.

Jika demikian, pendapat mana yang lebih kuat? Allahu a’lam pendapat yang membolehkan, tampaknya, lebih dekat kepada kebenaran, sebagaimana telah disebutkan alasan-alasannya di atas. Adapun pendapat yang mengharamkan, maka bisa kita bantah dengan bantahan sebagai berikut:

Dasi tidak hanya menyebar di negeri-negeri kafir, tetapi sudah menyebar di negeri-negeri kaum muslimin, bahkan sudah biasa dipakai oleh berbagai kalangan dan sangat biasa dipakai di acara-acara resmi. Yang memakainya tidak hanya orang-orang kafir, tetapi juga orang-orang muslim. Bagi mereka yang mengenakannya, insya Allah tidak berniat untuk beribadah atau meniru-niru orang kafir. 

Kecuali jika diniatkan untuk meniru orang kafir maka kita katakan haram memakainya. Anggapan bahwa asal usul dasi adalah berasal dari salib yang dikalungkan di leher, maka ini tidak benar, karena sebelum lahirnya agama Kristen, kain yang diikat di leher sudah dikenal di zaman Romawi kuno. Begitu pula kita dapatkan patung-patung batu di makam kuno, daerah Xi’an, China, yang menunjukkan bahwa mereka dulu telah mengikatkan kain-kain di leher-leher mereka.

Hukum asal dari memakai perhiasan adalah boleh meskipun tidak memiliki manfaat yang jelas. Dan pada kenyataannya, sebagian kaum menganggap bahwa orang berpendidikan dan berwibawa jika hendak berpidato di depan umum haruslah mengenakan dasi agar tetap memiliki wibawa di hadapan masyarakat kaum tersebut. Dan permasalahan ini kembali kepada adat.

Dengan demikian pendapat yang mengatakan bahwa memakai dasi diperbolehkan lebih kuat insya Allah. Akan tetapi, bagi yang ingin wara’ (berhati-hati) maka silakan untuk tidak mengenakannya dan inilah yang saya sarankan, tapi tidak perlu mengharuskan orang lain untuk menanggalkan dasinya atau mencela orang lain yang mengenakannya karena berbeda ijtihad dengannya.

Allahu a’lam bishshawab. Billahittaufiq

Penulis: Ust. Sa’id Yai Ardiyansyah, Lc., MA.
Artikel Muslim.or.id

Tidak ada komentar: