Nasehat Syeikh Utsaimin -Rahimahullah- Kepada Ahlul Jarh Wat Tarjih

Nasehat Syeikh Utsaimin

Berikut ini perkataan Syeikh Utsaimin –rohimahulloh– yang merupakan nasehat bagi kita semua, agar kita saling menjaga kehormatan sesama saudara seiman, terutama terhadap ulama kita…

Hendaklah kita saling memaafkan, memberi udzur, dan berlapang-dada…

Hendaklah kita saling menasehati, bukan malah mengumbar aib saudara sendiri.

Selanjutnya, silahkan para pembaca menelaah sendiri nasehat-nasehat dari beliau, semoga kita semua bisa mengambil manfaat darinya.

Sungguh aku mengarahkan nasehat ini, kepada mereka yang diberi cobaan Allah dengan PENYAKIT ini, agar mereka bertaubat kepada Allah azza wajall,

hendaklah mereka bertaubat kepada Allah dan memohon ampunan kepadaNya, dan janganlah mereka membuka pintu pertikaian dan perpecahan di tubuh umat ini.
Hendaklah mereka tahu, bahwa mereka itu SALAH dari segala sisi, karena seharusnya perkataan, celaan, dan ghibah mereka terarah kepada pengikut kebatilan dari kalangan munafikin dan atheis, tapi hal tersebut malah diarahkan kepada saudara-saudara mereka yang membantu mereka dalam dakwah.

Subhanallah, jika perkataan mereka terarah kepada saudara-saudara mereka para da’i, tentu kepercayaan masyarakat kepada mereka (yang dicela) menjadi BERKURANG, dan (di sisi lain) ini juga menjadikan kepercayaan masyarakat kepada mereka (yang mencela) menjadi berkurang, baik mereka (yang dicela) membela diri ataupun tidak.

Orang-orang saat itu akan menjadi dua kubu, dan setiap kubu akan saling menyesatkan dan menjatuhkan kubu yang lain..

ketika itulah akan muncul -untuk memimpin umat ini- orang yang tidak layak menjadi pemimpin, baik dalam hal ilmunya maupun dalam hal agamanya.

Ketika itu, kelompok munafikin -dari kalangan liberal dan yang lainnya- akan senang dengan pertikaian yang terjadi di kalangan para da’i, dan mereka akan mengatakan:

“Alhamdulillah Allah telah mencukupkan (usaha) kami, dengan menjadikan keadaan mereka saling menjatuhkan, dan saling mencela, inilah yang kami inginkan, dan kami rela begadang siang dan malam untuk mewujudkannya.

Terkadang mereka mencari-cari beberapa kesalahan dari sebagian tokoh yang terpandang lalu menyebarkannya, dan mereka tidak melihat kebaikan-kebaikan orang yang mereka sifati dengan sifat-sifat tercela tersebut.

Dan ini juga merupakan KESALAHAN, dan aku tidak perlu memberikan contoh dalam hal ini, namun hal ini telah dikabarkan dan sampai kepadaku.

Jika mereka melihat ada seseorang ‘dikelilingi’ banyak pemuda, atau mayoritas orang 'mengelilinginya’, mereka akan mencari-cari kesalahan-kesalahannya, dan tentunya tidak ada seorang pun yang selamat dari kesalahan, namun mereka menjadikan kesalahan ini sebagai perusak nama baiknya.

Hakekatnya, mereka itu termasuk penjahat paling kakap, bukan terhadap orang ini, namun terhadap Islam.

Selama orang ini menjadi simbol Islam dan berdakwah untuk Islam, maka mencelanya berarti mencela apa yang didakwahkannya.

Tidakkah kalian melihat Kaum Kuffar, dahulu mereka menyifati Rosul -shollallohu alaihi wasallam- sebagai orang yang amanah dan terpercaya, namun setelah ia membawa ‘kebenaran’, mereka lalu menyifatinya dengan sifat-sifat keburukan untuk menjauhkan manusia dari Beliau!

Tidak diragukan lagi, keadaan musuh-musuh para rosul akan terus ada hingga hari kiamat,

dan setiap orang yang mengemban dakwah Rosul akan mendapati orang-orang seperti mereka bagi dirinya.

Mencari-cari keburukan Kaum Muslimin -terutama para ulamanya- itu DIHARAMKAN, dalam sebuah hadits dikatakan:

"Wahai orang-orang yang telah beriman dengan LISANNYA, namun iman itu BELUM MASUK dalam hatinya! Janganlah kalian mengganggu/menyakiti Kaum Muslimin, dan janganlah kalian mencari-cari keburukan mereka, karena barangsiapa mencari-cari keburukan saudaranya, Allah akan mencari-cari keburukannya, dan barangsiapa Allah cari-cari keburukannya, Dia akan menampakkan keburukannya walaupun ia berada di rumahnya”.

Maka kita tidak boleh mencari-cari keburukan, dan mencari-cari keburukan adalah keburukan,

▶ maksudnya; orang yang mencari-cari keburukan orang lain, saat itu ia terjatuh dalam keburukan.

Yang seharusnya dilakukan –barokallohu fiik– terhadap orang yang melakukan sesuatu yang mengundang kritikan, adalah membela saudaranya bila ia mendengar orang mengkritiknya dalam masalah tersebut, dan mengatakan:

“mungkin ia memiliki syubhat dalam hal itu”, “mungkin ia punya alasan”, terutama bila orang tersebut dikenal tulus, ikhlas, dan senang menyebarkan ilmu.

Mencela keamanahan, agama, dan keilmuan para ulama itu lebih berbahaya, kita memohon kepada Allah agar diselamatkan dari hal ini.

Yang jelas, apapun keadaannya, aku menganjurkan kalian agar TIDAK ikut-ikutan masuk dalam masalah-masalah ini,

dan juga TIDAK ikut membicarakannya...

Apakah kamu Quthbiy, atau Jaamiy, atau ini, atau itu, ini semua tidak ada gunanya.
Apa manfaat yang kita dapatkan dari julukan jaamiyyah dan quthbiyyah?!

Harusnya kita berjalan di atas jalan yang mendatangkan manfaat bagi kita, tidak perlu kita ngurusi si Zaid atau si Abid.

Harusnya kita mendamaikan orang-orang, dan tindakan ‘mendamaikan’ ini bukan berarti kita mengambil sikap ‘menonton‘, harusnya kita punya gerakan nyata untuk mendamaikan…

Yang saya maksudkan dengan gerakan nyata (dalam mendamaikan mereka) adalah dengan mengundang para ulama yang dipercaya dan diterima oleh dua kubu, untuk mendamaikan orang-orang tersebut, dan berbicara (baik-baik) dengan mereka.

Para pemuda ini, tentu besok akan menjadi para pemimpin,

merekalah yang akan mengatur urusan umat ini, bila mereka dididik dengan perselisihan, permusuhan, dan kebencian ini, tentu yang akan terjadi adalah keburukan yang besar. Allohul musta’an.

Penanya:
Para ulama senior, bukankah seharusnya mereka punya andil dalam menjelaskan hal ini… agar kami tahu yang haq?

Syeikh:


Demi Allah, apapun keadaannya, Allah yang lebih tahu tentang niat masing-masing, namun kita yakin bahwa menyelesaikan masalah dengan cara seperti itu adalah SALAH, dan kami tidak setuju dengan MANHAJ ini sama sekali!

Apa maksud seseorang mencela orang lain, sedang ia tidak menyebutkan kebaikan orang itu sama sekali?!

Adilkah sikap seperti ini; mencela seseorang tapi tidak menyebutkan kebaikannya sama sekali?!

Jadilah kalian para saksi Allah dengan adil!

Dan janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum, menjadikan kalian bersikap tidak adil!

Tentu tindakan yang mereka lakukan ini tidaklah benar.

Penanya: Bisa jadi perbedaan pendapatnya dalam masalah akidah?

Syeikh:

Masalah-masalah akidah, itu antara dia dengan Allah, kita tidak sedang membicarakan hal itu, namun MANHAJ dengan sifat seperti ini SALAH!

Astaghfirullah aku bertaubat kepadaNya.
Ya Allah, berilah kami petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk, kami memohon kepada Allah agar mengumpulkan hati manusia di atas ketaatan kepadaNya.

Ya ikhwan, gunakanlah pikiran kalian dalam masalah (yang penting ini)!

Takutlah kalian kepada Allah dalam menjaga diri kalian!

Takutlah kalian kepada Allah dalam menjaga kebangkitan umat ini!

Satukanlah kebangkitan umat ini di atas satu kalimat!

Maafkanlah kesalahan saudara-saudara kalian, adakanlah nasehat antara kalian dengan mereka, peganglah orang yang kamu anggap salah, dan katakanlah:

‘Ya akhi, kamu salah dalam masalah ini dan masalah ini’.

Mungkin kebenaran ada di pihak dia, dan ia mampu menjadikanmu menerima ucapannya, atau mungkin kebenaran ada di pihakmu, sehingga ia mau bergabung denganmu.

Adapun kamu membicarakan orang tersebut di belakang, menjatuhkannya, dan menjadikan hati masyarakat dendam, marah, dan benci kepadanya, maka -demi Allah- kamu akan mempertanggung-jawabkannya (di hadapanNya), sungguh (jika demikian adanya) kamu benar-benar jauh dari kebenaran, dan jauh dari Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah, karena Ahlussunnah wal Jama’ah memiliki hati yang bersih, dan lisan mereka juga bersih dari (mencela) pengikut kebenaran.

Mereka itu saling menasehati antara mereka, bukan saling mencemarkan.
Mereka itu menjadikan masyarakat simpati, bukan malah menjadikan mereka lari, sebagaimana diperintahkan Nabi –alaihis sholatu wassalam-:
“Jadikanlah orang-orang simpati, dan jangan menjadikan mereka lari!”.

Adapun menjadikan manusia lari (dari dakwah) dengan cara seperti ini, maka sungguh orang itu akan mempertanggung-jawabkannya (di hadapan Allah).

Penanya:  
Kami dapati sebagian penuntut ilmu membela syeikh-syeikh mereka, tapi (di sisi lain) mereka berbicara panjang lebar untuk menjatuhkan kehormatan selain syeikh-syeikh mereka, sehingga mereka memfasikkannya, membid’ahkannya, dan menyesatkannya.
Syeikh: 

Tidak, ini salah, ini termasuk wahyu setan agar seseorang menjatuhkan kehormatan para ulama.

Jika seseorang telah menjatuhkan kehormatan para ulama, maka dia telah menjadi seorang yang aniaya dan lalim.

Dan menggunjing para ulama tidaklah seperti menggunjing orang biasa, karena dalam tindakan menggunjing para ulama terdapat mafsadat yang bersifat KHUSUS dan mafsadat yang bersifat UMUM.

▶ Mafsadat yang sifatnya khusus adalah mafsadat yang efeknya dirasakan oleh orang alim tersebut,

▶ sedang mafsadat yang sifatnya umum adalah mafsadat yang berakibat buruk pada ilmu yang dibawanya, karena jika seseorang telah jatuh di mata masyarakat, maka mereka tidak akan mau menerima apa pun darinya, sehingga hal ini menjadi kejahatan terhadap (ilmu) syariat yang dibawa oleh orang alim tersebut.

Penasehat sejati adalah orang yang bila melihat ada ulama / penuntut ilmu / orang awam melakukan sesuatu yang mungkar, ia menghubungi orang alim / penuntut ilmu / orang awam tersebut, untuk mencari kejelasan masalahnya.
Karena bisa jadi sesuatu yang kamu kira salah, menjadi benar bila dilihat dari sikon yang mendorong orang alim tersebut mengatakan atau melakukan hal itu, karena bisa jadi sesuatu itu mungkar dari sisi dzatnya, tapi sebagian orang melakukannya untuk tujuan maslahat yang lebih besar.

Oleh karena inilah, kita melihat mereka yang menjatuhkan kehormatan para ulama, telah melakukan kejahatan terhadap para ulama dan ilmu yang dibawanya.

Yang seharusnya dilakukan adalah menghormati seorang yang alim, terutama yang dikenal menginginkan kebenaran, dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya, namun ia kadang salah, dan tidak ada manusia yang selamat dari kesalahan;
“semua anak Adam banyak salahnya, dan sebaik-baik orang yang banyak salahnya adalah orang yang banyak taubatnya”.

Penanya: Ya syeikh, orang seperti mereka, maksudnya orang yang buruk akhlaknya seperti ini, yang menjatuhkan kehormatan ulama,

apakah sebaiknya bagi penuntut ilmu -yang mengetahui hakekat orang itu- untuk memperingatkan para penutut ilmu yang masih pemula, agar mereka menjauhinya, tidak duduk bersamanya, tidak bergantung padanya, dan semisalnya?

Syeikh:

Ya (benar), sudah seharusnya penuntut ilmu (melakukan itu), dan biasanya diantara teman saling mengetahui hal-hal yang tidak diketahui orang asing,

Jika mereka mengetahui bahwa orang ini tidak punya pekerjaan kecuali menjatuhkan kehormatan para ulama, sudah seharusnya dia menjauhinya, dan juga menjauhkan orang lain darinya, karena ini merupakan penyakit mematikan.

Dan jika setan tahu seseorang menikmati daging para ulama, ia akan menambahi kenikmatan tersebut,

sehingga ia tidak akan tenang dan duduk dalam sebuah majlis, kecuali bila majlis tersebut datang dengan salah seorang ulama untuk diiris-iris dagingnya, kita memohon kepada Allah agar diselamatkan dari hal ini…

Aku melihat wajib menjauhi orang ini, dan menjauhkan orang lain darinya, dengan tetap menasehatinya, karena orang itu manusia, bisa jadi ia tergoda dan hawa nafsunya menyeretnya melakukan perbuatan buruk tersebut, dan mungkin saja nasehat bisa bermanfaat bagi dia.

Sekarang ini, ada sekelompok orang yang mencari-cari keburukan para ulama, lalu mereka menampakkanya, tapi tidak menyebutkan kebaikannya, padahal kebaikan-kebaikannya itu berlipat-lipat bila dibandingkan dengan kesalahan-kesalahan itu. Ini salah…

Ini kesalahan, masalah akidah –barokallohu fiik– itu seperti masalah lainnya bila dilihat dari sisi adanya ‘kemungkinan salah’ di dalamnya.

Bukankah para ulama -baik yang salaf maupun yang kholaf– berselisih tentang ‘keabadian neraka’,
apakah ia kekal abadi atau tidak?…

Ini masalah akidah, tapi mereka berselisih di dalamnya.

Shirot (jembatan) yang ada di atas Jahannam,

▪ apakah ia jalan biasa seperti yang lainnya?
▪ Ataukah ia lebih kecil dari rambut dan lebih tajam dari pedang?

Ada khilaf dalam masalah ini.

▪ Yang ditimbang pada hari kiamat, apakah amalannya, ataukah pelakunya, ataukah buku catatan amalnya?

▪ Apakah (dalam peristiwa Isro’) Rosul melihat Robbnya, ataukah tidak?

▪ Apakah ruh akan dikembalikan ke jasad di kuburnya, dan adzab ditimpakan kepada jasad dan ruhnya sekaligus, ataukah adzab tersebut hanya ditimpakan kepada ruh saja?

Semua ini masalah akidah (tapi para ulama berselisih di dalamnya)…

Saya ingin memberikan kalian sebuah kaidah dalam masalah
penafian sifat istiwa (bagi Allah) dan juga sifat-sifat lainnya.

Barangsiapa menafikan sifat-sifat itu dengan mengingkarinya, maka ia telah mendustakan Alqur’an,tapi barangsiapa menafikan sifat-sifat itu dengan takwilan, maka dilihat dulu takwilan-nya.

Misalnya: bila ada orang mengatakan:

Allah tidak ber-istiwa di atas Arsy.

Apakah ini penafian dengan pengingkaran atau pentakwilan?

▶ ini pengingkaran, maka orang ini dihukumi kafir karena mendustakan Alqur’an.

Bila ada orang mengatakan:
Allah ber-istiwa di atas Arsy, namun “istiwa” di sini maksudnya “istaula” (menguasai)…

▶ ini penafian dengan pentakwilan, maka dilihat dulu, apakah takwilannya ini menjadikan orang tersebut kafir, ataukah fasik, ataukah dia bisa diberi udzur? dilihat dulu.
Catatan: Maksud beliau dari uraian di atas adalah:

Jika dalam masalah AKIDAH saja, ada celah untuk memberi udzur, apalagi dalam masalah-masalah lainnya… wallohu a’lam.

Penanya: Wahai syeikh yang terhormat, apa pendapatmu tentang sebagian pemuda, termasuk diantaranya sebagian penuntut ilmu… yang sudah menjadi kebiasaan mereka; mencela satu dengan yang lainnya?

Syeikh: 

Aku berpendapat; perbuatan ini HARAM… Jika seseorang tidak boleh menggunjing saudara seimannya, meski bukan seorang ulama, lantas bagaimana bisa dibolehkan menggunjing saudara seimannya yang ulama?!

Merupakan kewajiban bagi seorang mukmin untuk menahan lisannya dari tindakan menggunjing saudara-saudaranya yang seiman.

(Kitab: Ta’awunud du’aah wa atsaruhu alal mujtama’, hal: 35)

Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pencari kebenaran.
Ustadz Musyaffa' ad Dariny Lc, M.A
Dewan Pembina Yayasan Risalah Islam
Oleh: Mutiara Risalah Islam

Tidak ada komentar: