Kaidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam mengambil dan menggunakan Dalil

BAB II: KAIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH DALAM MENGAMBIL DAN MENGGUNAKAN DALIL

Bab ini penting dalam kita mengambil dan menggunakan dalil, dan dengannya akan terlihat perbedaan antara Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dengan kelompok-kelompok sesat.

[5]- Berserah diri (taslim), patuh, dan taat hanya kepada Allah dan Rasul-Nya secara lahir dan bathin. Tidak menolak sesuatu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih, (baik menolaknya itu) dengan qiyas (analogi), perasaan, kasyf (iluminasi atau penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib), ucapan seorang syaikh, ataupun pendapat imam-imam dan lainnya.

Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:

فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65)

Juga firman Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa-:

...وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 7)\
jalan lurus

Maka di sini ada beberapa pembahasan:

#PERTAMA: Tidak ada Qiyas dalam masalah ‘Aqidah.

Imam Al-Barbahari -rahimahullaah- berkata:

وَاعْلَمْ -رَحِـمَكَ اللهُ- أَنَّهُ لَيْسَ فِـي السُّـنَّـةِ قِـيَاسٌ، وَلَا تُـضْرَبُ لَـهَا الْأَمْثَالُ، وَلَا تُــتَّبَعُ فِـيْهَا الْأَهْوَاءُ، وَهُوَ التَّصْدِيْـقُ بِآثَارِ رَسُوْلُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، بِلَا كَيْفٍ وَلَا شَرْحٍ، وَلَا يُقَالُ لِـمَ وَلَا كَيْفَ؟
“Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu-: bahwa tidak ada qiyas dalam As-Sunnah (‘Aqidah). Tidak boleh menjadikan membuat-buat permisalan bagi As-Sunnah (dengan tujuan untuk mengingkari-pent), dan tidak boleh mengikuti keinginan (hawa nafsu) di dalamnya. (Yang harus dilakukan terhadap As-Sunnah adalah) pembenaran terhadap hadits-hadits Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- tanpa diiringi perkataan bagaimana dan menjelaskan (dengan takwil yang bathil). Tidak juga ditanyakan di dalamnya dengan pertanyaan mengapa dan bagaimana.”

[“Syarhus Sunnah” (no. 9)]

Yang pertama kali membuat qiyas (yang bathil) adalah Iblis:

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
“Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah".” (QS. Al-A’raaf: 12)

#KEDUA: Al-Qur’an & As-Sunnah Tidak Ditolak Dengan Perasaan.

Tidak boleh menolak dengan alasan: saya belum siap, atau tidak cocok untuk zaman sekarang, dst.

#KETIGA: Dan Tidak Boleh Menolak Al-Qur’an & As-Sunnah Dengan Alasan Mengikuti “Kasyf”/penyingkapan (istilah yang dibuat oleh thoriqat Sufi)

Yaitu: anggapan bahwa syaikhnya langsung bertemu dengan Nabi, atau syaikhnya langsung mengambil dari Allah. Sehingga mereka menolak dalil karena sudah mencapai derajat hakikat dan ma’rifat, maka tidak perlu lagi untuk melaksanakan ibadah-ibadah. Menurut mereka: yang harus beribadah adalah orang-orang awam (seperti kita) karena masih tingkat syari’at. Padahal Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- Allah perintahkan untuk beribadah sampai datangnya kematian:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan beribadahlah kepada Rabb-mu sampai datang keyakinan (ajal) kepadamu.” (QS. Al-Hijr: 99)

Membeda-bedakan antara kaum muslimin dengan istilah: syari’at, ma’rifat, dan hakikat; adalah sebuah bentuk penyesatan, dan hal ini bisa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, karena mereka (yang sudah tingkat hakikkat atau ma’rifat); tidak mau melaksanakan agama Islam.

[Lihat penjelasannya dalam buku “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah” (hlm.423-427-cet. ke-15)]

#KEEMPAT: Dan Juga Tidak Boleh Menolak Al-Qur’an & As-Sunnah Dengan Perkataan Seorang Syaikh, Ulama, Atau Imam.

Yang dijadikan sebagai dalil adalah: Al-Qur’an, As-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih.

Para Imam telah melarang untuk mengambil pendapat mereka yang tidak sesuai dengan dalil:

(1)- Imam Abu Hanifah -rahimahullaah- berkata: “Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil perkataan kami selama ia belum mengetahui dari mana kami mengambilnya.” Beliau -rahimahullaah- juga berkata: “Apabila suatu hadits itu shahih, itulah madzhabku.”

(2)- Imam Malik bin Anas -rahimahullaah- berkata: “Sesungguhnya aku hanya manusia biasa, terkadang aku benar dan terkadang aku salah; maka lihatlah pendapatku, setiap pendapatku yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah.”

(3)- Imam As-Syafi’i -rahimahullaah- berkata: “Setiap orang pasti terlewat dan luput darinya salah satu dari Sunnah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Apa pun pendapat yang aku katakan atau prinsip yang yang aku tetapkan, kemudian ada hadits dari Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang ternyata bertentangan dengan pendapatku, maka apa yang disabdakan Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- itulah yang diambil. Dan itulah pendapatku.”

Beliau juga mengatakan: “Setiap yang aku ucapkan, namun ada hadits dari Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang shahih menyelisihi pendapatku, maka hadits Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- itulah yang lebih patut diikuti. Maka janganlah kalian taqlid kepadaku.”

(4)- Imam Ahmad bin Hanbal -rahimahullaah- berkata: “Kalian tidak boleh taqlid kepada Malik, As-Syafi’i, Al-Auza’i, dan Ats-Tsauri, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil (Al-Qur’an & As-Sunnah).”

[Lihat: “Mulia Manhaj Salaf” (hlm. 304-305- cet. ke-12)]

Imam Ath-Thahawi -rahimahullah- berkata dalam “Al-‘Aqiidah Ath-Thahawiyyah”:

وَلَا تَثْبُتُ قَدَمُ الْإِسْلَامِ إِلَّا عَلَى ظَهْرِ التَّسْلِيمِ وَالِاسْتِسْلَامِ. فَمَنْ رَامَ عِلْمَ مَا حُظِرَ عَنْهُ عِلْمُهُ، وَلَمْ يَقْنَعْ بِالتَّسْلِيمِ فَهْمُهُ؛ حَجَبَهُ مَرَامُهُ عَنْ خَالِصِ التَّوْحِيدِ، وَصَافِي الْمَعْرِفَةِ، وَصَحِيحِ الْإِيمَانِ
“Tidak akan kokoh pijakan Islam (seorang hamba) kecuali di atas “tasliim” (kepasrahan) dan “istislaam” (berserah diri). Barangsiapa yang ingin mencapai ilmu yang telah dilarang (untuk mendalaminya), dan pemahamannya tidak merasa puas dengan “tasliim” (kepasrahan); maka keinginannya tersebut telah menghalanginya dari kemurnian Tauhid, pengetahuan yang jernih, dan keimanan yang benar.”
------------------------------------------------------------------------
#BAGIAN_KEEMPAT MATERI KAJIAN SABTU PAGI (20 DZUL QA’DAH 1438 H / 12 AGUSTUS 2017 M) -via Rodja TV live streaming-

PEMATERI: FADHILATUL USTADZ YAZID BIN ‘ABDUL QADIR JAWAS -hafizhahullaah-

MATERI: BUKU “SYARAH ‘AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH” (hlm. 47-48), karya Ustadz Yazid, cet. ke-15, Pustaka Imam Asy-Syafi’i.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=496222487385299&id=100009926563522

-ditulis secara ringkas oleh: Ahmad Hendrix-

Tidak ada komentar: