Akhi Muslim, inilah 3 WASIAT AGUNG NABI

Disebutkan di dalam kitab Musnad Imam Ahmad rahimahullah dan Sunan Ibnu Majah rahimahullah dari hadist Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Sesungguhnya seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata: ”Nasihatilah aku dan persingkatlah!”

dalam riwayat lain disebutkan: “ Ajarilah aku dan persingkatlah!”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ﺇﺫَﺍ ﻗُﻤْﺖَ ﻓِﻲ ﺻَﻠَﺎﺗِﻚَ ﻓَﺼَﻞِّ ﺻَﻠَﺎﺓَ ﻣُﻮَﺩِّﻉٍ، ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻜَﻠَّﻢْ ﺑِﻜَﻠَﺎﻡٍ ﺗَﻌْﺘَﺬِﺭُ ﻣِﻨْﻪُ ﻏَﺪًﺍ، ﻭَﺃَﺟْﻤِﻊِ ﺍﻟﻴَﺄﺱَ ﻣِﻤَّﺎ ﻓِﻲ ﻳَﺪَﻱِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ
“Jika kamu hendak melaksanakan shalat, maka shalatlah seperti shalat orang yang berpamitan dan janganlah mengatakan sesuatu yang akan membuatmu beralasan darinya dan berputus asa lah terhadap apa yang ada di tangan manusia.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
3 WASIAT AGUNG NABI

Hadist ini hadist hasan dengan sebab penguat-penguatnya.

Hadist yang mulia ini berisi tiga wasiat agung yang mengumpulkan semua kebaikan. Barang siapa yang memahaminya dan mengamalkannya, niscaya mendapatkan semua kebaikan di dunia dan di akhirat.

Wasiat pertama : Wasiat untuk mendirikan shalat, memperhatikan dan melaksanakannya dengan baik.
Wasiat kedua : Wasiat menjaga dan menahan lisan
Wasiat ketiga : Ajakan memiliki sifat qonaah dan menggantungkan hati hanya pada Allah Azza wa Jalla.

Dalam wasiat pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru bagi orang yang memulai pelaksanaan shalat supaya melaksanakannya seperti shalat orang yang berpamitan (terakhir kali).

Sudah dimaklumi orang yang akan berpisah akan membahas panjang lebar perkataan dan perbuatan yang tidak dapat dilakukan orang lain. Ini sudah dikenal pada perjalanan dan perpindahan mereka. Orang yang berpindah dari sebuah negeri dengan harapan kembali lagi berbeda keadaannya dengan orang yang berpindah dengan tidak berharap kembali lagi. Orang yang berpamitan akan membahas panjang lebar yang tidak dilakukan orang lain.

Apabila seorang hamba shalat dengan mengingat sholatnya tersebut shalat terakhir dan merasa tidak akan pernah shalat lagi, maka dia akan bersungguh-sunguh mengerjakannya, memperbagus pelaksanaannya dan melakukan ruku’, sujud atau kewajiban dan sunnah-sunnah shalat lainnya dengan seksama.

Oleh karena itu, hendaknya setiap Mukmin untuk mengingat wasiat ini pada setiap shalat yang dikerjakannya. Mengingat shalat orang yang berpamitan dan merasakan didalamnya inilah shalat yang terakhir, tidak ada lagi shalat setelahnya. Apabila merasakan hal itu, maka perasaan tersebut akan membawa perbaikan dalam pelaksanaan dan kesempurnaannya.

Barangsiapa yang memperbagus shalatnya maka shalatnya tersebut mengarahkannya pada kebaikan dan menjauhkannya dari semua keburukan dan kehinaan. Hatinya dipenuhi dengan keimanan, diapun merasakan manisnya iman. Jadilah Shalatnya penyejuk matanya, tempat istirahat, hiburan dan kebahagiannya.

Wasiat yang kedua: adalah wasiat untuk menjaga lisan.

Sesungguhnya lisan sesuatu yang paling berbahaya yang ada pada manusia. Perkataan itu apabila belum diucapkan, masih dalam kekuasaan pemiliknya.

Apabila perkataan itu telah keluar diucapkan dari lisan seseorang, maka perkataan tersebut menguasai pemilikinya dan harus sabar menanggung akibat dari perkataan yang diucapkannya tersebut. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ﻟَﺎ ﺗَﻜَﻠَّﻢْ ﺑِﻜَﻠَﺎﻡٍ ﺗَﻌْﺘَﺬِﺭُ ﻣِﻨْﻪُ ﻏَﺪًﺍ
“Janganlah mengatakan suatu perkataan yang membuatmu meminta maaf keesokan harinya”.

Maksudnya, bersungguh-sungguhlah menahan lisanmu dari setiap perkataan yang dikhawatirkan mengakibatkan kamu beralasan darinya dan yang akan menuntutmu untuk beralasan. Sesungguhnya jika engkau belum mengucapkan suatu perkataan, maka perkataan itu adalah milikmu, dan jika telah engkau ucapkan maka perkataan itu yang akan memilikimu (menguasaimu).

Dalam wasiat Nabi kepada Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu , Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ﺃَﻟَﺎ ﺃُﺧْﺒِﺮُﻙَ ﺑِﻤِﻠَﺎﻙِ ﺫَﻟِﻚَ ﻛُﻠِّﻪِ؟ ﻗُﻠْﺖُ : ﺑَﻠَﻰ، ﻳَﺎ ﻧَﺒِﻲَّ ﺍﻟﻠﻪ ! ﻓَﺄَﺧَﺬَ ﺑِﻠِﺴَﺎﻧِﻪِ، ﻗَﺎﻝَ : ﻛُﻒَّ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﻫَﺬَﺍ، ﻓَﻘُﻠْﺖُ : ﻳَﺎ ﻧَﺒِﻲَّ ﺍﻟﻠﻪ ! ﻭَﺇِﻧَّﺎ ﻟَﻤُﺆَﺍﺧَﺬُﻭﻥَ ﺑِﻤَﺎ ﻧَﺘَﻜَﻠَّﻢُ ﺑِﻪِ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﺛَﻜِﻠَﺘْﻚَ ﺃُﻣُّﻚَ ﻳَﺎ ﻣُﻌَﺎﺫُ ! ﻭَﻫَﻞْ ﻳَﻜُﺐُّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻋَﻠَﻰ ﻭُﺟُﻮﻫِﻬِﻢْ ـ ﺃَﻭْ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻨَﺎﺧِﺮِﻫِﻢْ ـ ﺇِﻟَّﺎ ﺣَﺼَﺎﺋِﺪُ ﺃَﻟْﺴِﻨَﺘِﻬِﻢْ
Maukah engkau aku beritahukan sesuatu (yang jika engkau laksanakan) dapat menguasai semua itu ? Saya berkata : Mau ya Rasulullah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang lisannya lalu bersabda: Jagalah ini. Saya berkata: Ya Nabi Allah, apakah kita akan dihukum juga atas apa yang kita bicarakan ? Beliau bersabda: Ah kamu ini, adakah yang menyebabkan seseorang terjungkal di atas wajahnya atau di atas hidungnya di neraka selain buah dari yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka. (HR. Ahmad dan at-Turmudzi).

Lisan mempunyai bahaya yang begitu jelas dan telah ada sebuah hadist yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺻْﺒَﺢَ ﺍﺑْﻦُ ﺁﺩَﻡَ، ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻷَﻋْﻀَﺎﺀَ ﻛُﻠَّﻬَﺎ ﺗُﻜَﻔِّﺮُ ﺍﻟﻠِّﺴَﺎﻥَ ﻓَﺘَﻘُﻮﻝُ : ﺍﺗَّﻖِ ﺍﻟﻠﻪَ ﻓِﻴﻨَﺎ، ﻓَﺈِﻧَّﻤَﺎ ﻧَﺤْﻦُ ﺑِﻚَ؛ ﻓَﺈِﻥِ ﺍﺳْﺘَﻘَﻤْﺖَ ﺍﺳْﺘَﻘَﻤْﻨَﺎ، ﻭﺇِﻥِ ﺍﻋْﻮَﺟَﺠْﺖَ ﺍﻋْﻮَﺟَﺠْﻨَﺎ
Jika waktu pagi tiba seluruh anggota badan mengingkari lisan dengan mengatakan, ‘Bertakwalah kepada Allah terkait dengan kami karena kami hanyalah mengikutimu. Jika engkau baik maka kami akan baik. Sebaliknya jika kamu melenceng maka kami pun akan ikut melenceng). (HR. Ahmad dan at-Turmudzi).

Sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam wasiat ini:

ﻟَﺎ ﺗَﻜَﻠَّﻢْ ﺑِﻜَﻠَﺎﻡٍ ﺗَﻌْﺘَﺬِﺭُ ﻣِﻨْﻪُ ﻏَﺪًﺍ
“Janganlah mengatakan suatu perkataan yang membuatmu meminta maaf keesokan harinya.”

berisi ajakan untuk mengintropeksi diri dari semua yang diucapkan dengan menimbang – nimbang apa yang akan diucapkan. Jika terdapat kebaikan maka dia ucapkan, jika terdapat keburukan maka dia menahannya dan jika yang akan dia ucapkan sesuatu yang meragukan tidak tahu apakah kejelekan atau kebaikan, hendaknya dia menahan lisannya sebagai bentuk kehati-hatian dari perkara yang meragukan sampai menjadi jelas.

Oleh karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪ ﻭﺍﻟﻴَﻮْﻡِ ﺍﻵﺧِﺮِ؛ ﻓَﻠْﻴَﻘُﻞْ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﺃَﻭْ ﻟِﻴَﺼْﻤُﺖْ
“Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Ironisnya, kebanyakan manusia tidak sadar telah menjerumuskan diri mereka pada perkara yang besar, hanya disebabkan sebuah perkataan lisan yang mereka anggap remeh. kemudian ucapan mereka itu mengakibatkan dampak buruk pada kehidupan dunia dan akhirat mereka. Orang yang berakal tentunya akan menimbang dan menjaga semua perkataannya dan tidak berkata kecuali sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dengan perkataan yang tidak menuntutnya untuk beralasan darinya.

Dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam « ﺑﻜَﻠَﺎﻡٍ ﺗَﻌْﺘَﺬِﺭُ ﻣِﻨْﻪُ ﻏَﺪًﺍ » mengandung dua makna. Makna yang pertama meminta maaf dihadapan Allah Azza wa Jalla kelak, atau yang kedua, meminta maaf pada manusia langsung ketika mereka menuntutmu akibat dampak dari perkataan dan ucapanmu.

Makna yang pertama ini mempunyai hubungan yang kuat dengan perkara sholat. Sebab dengan alasan apa yang disampaikan orang yang lalai dalam shalat kepada Rabb-Nya kelak (diakherat), padahal shalat adalah perkara yang pertama kali dihisab darinya.

Wasiat yang ketiga : Berisi ajakan untuk bersifat qonaah, menggantungkan hati pada Allah semata dan tidak berharap sama sekali dari semua milik orang lain.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ﻭَﺃَﺟْﻤِﻊِ ﺍﻟﻴَﺄﺱَ ﻣِﻤَّﺎ ﻓِﻲ ﻳَﺪَﻱِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱ
“berputus asa lah terhadap apa yang ada di tangan manusia.”

Pengertiannya: Teguhkan hatimu, berazzam dan bertekad untuk tidak berharap dari semua milik orang lain. Sehingga tidak berharap sesuatu dengan bersandar kepada mereka, namun berharaplah hanya pada Allah Azza wa Jalla semata. Jika dengan perkataanmu, tidak meminta kecuali hanya pada Allah Azza wa Jalla, begitu juga hendaknya dengan perbuatanmu tidak berharap kecuali hanya pada Allah Azza wa Jalla saja.

Shalat itu merupakan sarana penghubung antara engkau dan Rabb-mu. Shalat itu merupakan faktor terbesar yang dapat menolongmu mewujudkan hal ini.

Siapa yang tidak berharap sama sekali dari yang dimiliki orang lain, maka dia hidup tentram dan mulia.

Siapa yang bergantung kepada milik orang lain, maka dia akan hidup gelisah dan terhina.

Barang siapa hatinya bergantung pada Allah Azza wa Jalla dengan tidak berharap, memenuhi kebutuhannya dan bertawakkal hanya kepada Allah Azza wa Jalla, maka Allah Azza wa Jalla akan mencukupinya di dunia dan di akhirat.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

ﺃَﻟَﻴْﺲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﻜَﺎﻑٍ ﻋَﺒْﺪَﻩُ
Bukan kah Allah yang mencukupi hambanya (Az-Zumar: 36).

Allah juga berfirman:

ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﺘَﻮَﻛَّﻞْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓَﻬُﻮَ ﺣَﺴْﺒُﻪُ
“Barangsiapa bertawakal pada Allah maka Dia akan mencukupinya.” (Ath-Thalaq/65:3)

Semoga Allah memberi kita taufikv untuk melaksanakan tiga wasiat tersebut.

(Diadaptasi dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIX/1437H/2016M).
repost from www.khotbahjumat.com

Tidak ada komentar: