Jahmiyyah dan Mu’tazilah menolak sifat tinggi bagi Allah (bahwa Allah ada di atas). Padahal sifat ini telah ditunjukkan oleh dalil-dalil yang sangat banyak sekali; baik dalil syar’i maupun dalil akal. Bahkan Allah telah mem-fithrah-kan manusia untuk meyakini ketinggian Allah -Ta’aalaa-. Bahkan sebagian ulama mengatakan: bahwa dalil syar’i yang menunjukkan atas ketinggian Allah jumlahnya mendekati seribu dalil.
[Lihat: "Ash-Shawaa-‘iq al-Mursalah" (I/293-295) karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]
Maka alasan Jahmiyyah dan Mu’tazilah mengingkari ketinggian Allah adalah: karena mereka mengingkari keberadaan Allah di arah tertentu. Menurut mereka: “Kalau Allah berada diarah tertentu -termasuk di antaranya: arah atas-; maka berarti Allah sama dengan makhluk-Nya.”
Inilah kebiasaan Jahmiyyah dan Mu’tazilah; “mereka senantiasa beralasan dengan ‘menolak penyerupaan dan penyamaan (Allah dengan makhluk-Nya-pent)’, dan hal ini mereka jadikan tameng untuk menghilangkan dan menolak (sifat-sifat Allah-pent), sehingga mereka mengingkari ketinggian Allah atas makhluk-Nya dan terpisahnya diri-Nya dari makhluk-Nya, (mengingkari) bahwa Allah berbicara dan bahwa Al-Qur’an, Taurat, Injil dan seluruh kitab-Nya adalah merupakan Kalaam (firman)Nya, mengingkari bahwa Allah berbicara dengan Nabi Musa, mengingkari bahwa Allah Istiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy (singgasana)Nya, mengingkari bahwa kaum mukminin akan melihat-Nya di atas mereka dengan mata kepala mereka…dan permasalahan lainnya yang dikabarkan oleh Allah tentang diri-Nya dan juga apa yang dikabarkan oleh Rasul-Nya tentang diri-Nya.
Mereka (Jahmiyyah dan Mu’tazilah) berlindung dengan alasan ‘menolak penyerupaan (Allah dengan makhluk-Nya-pent)’ dan menjadikannya sebagai perisai yang dengannya MEREKA MENGHALANGI HATI (orang-orang yang beriman) DARI BERIMAN KEPADA ALLAH, KEPADA NAMA-NAMA-NYA & SIFAT-SIFAT-NYA.”
["Ash-Shawaa-‘iq al-Mursalah" (IV/1366) karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]
Dalam menyikapi keberadaan Allah; Jahmiyyah terbagi menjadi dua:
(1)- yang pertama mengatakan: Dzat Allah ada dimana-mana,
(2)- sedangkan kelompok yang kedua mengatakan: Allah tidak tidak di dalam alam dan tidak juga di luar alam.
Maka kelompok yang pertama: menyifati Allah bahwa Dia menitis pada tempat-tempat yang ada; bahkan Dia menitis pada tempat-tempat yang kotor.
Adapun kelompok yang kedua; perkataan mereka sama saja dengan: meniadakan keberadaan-Nya, dengan kata lain: bahwa Allah sebenarnya tidak ada.
"Ta’aalaallaahu ‘Ammaa Yaquuluun" (Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan).
[Lihat: "At-Tanbiihaat as-Saniyyah ‘Alal ‘Aqiidah al-Waasithiyyah" (hlm. 213) karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz An-Nashir Ar-Rasyid -rahimahullaah-]
-diambil dari: "Syarah Ushulus Sunnah" (hlm. 86-88), karya Ahmad Hendrix
[Lihat: "Ash-Shawaa-‘iq al-Mursalah" (I/293-295) karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]
Maka alasan Jahmiyyah dan Mu’tazilah mengingkari ketinggian Allah adalah: karena mereka mengingkari keberadaan Allah di arah tertentu. Menurut mereka: “Kalau Allah berada diarah tertentu -termasuk di antaranya: arah atas-; maka berarti Allah sama dengan makhluk-Nya.”
Inilah kebiasaan Jahmiyyah dan Mu’tazilah; “mereka senantiasa beralasan dengan ‘menolak penyerupaan dan penyamaan (Allah dengan makhluk-Nya-pent)’, dan hal ini mereka jadikan tameng untuk menghilangkan dan menolak (sifat-sifat Allah-pent), sehingga mereka mengingkari ketinggian Allah atas makhluk-Nya dan terpisahnya diri-Nya dari makhluk-Nya, (mengingkari) bahwa Allah berbicara dan bahwa Al-Qur’an, Taurat, Injil dan seluruh kitab-Nya adalah merupakan Kalaam (firman)Nya, mengingkari bahwa Allah berbicara dengan Nabi Musa, mengingkari bahwa Allah Istiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy (singgasana)Nya, mengingkari bahwa kaum mukminin akan melihat-Nya di atas mereka dengan mata kepala mereka…dan permasalahan lainnya yang dikabarkan oleh Allah tentang diri-Nya dan juga apa yang dikabarkan oleh Rasul-Nya tentang diri-Nya.
Mereka (Jahmiyyah dan Mu’tazilah) berlindung dengan alasan ‘menolak penyerupaan (Allah dengan makhluk-Nya-pent)’ dan menjadikannya sebagai perisai yang dengannya MEREKA MENGHALANGI HATI (orang-orang yang beriman) DARI BERIMAN KEPADA ALLAH, KEPADA NAMA-NAMA-NYA & SIFAT-SIFAT-NYA.”
["Ash-Shawaa-‘iq al-Mursalah" (IV/1366) karya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah-]
Dalam menyikapi keberadaan Allah; Jahmiyyah terbagi menjadi dua:
(1)- yang pertama mengatakan: Dzat Allah ada dimana-mana,
(2)- sedangkan kelompok yang kedua mengatakan: Allah tidak tidak di dalam alam dan tidak juga di luar alam.
Maka kelompok yang pertama: menyifati Allah bahwa Dia menitis pada tempat-tempat yang ada; bahkan Dia menitis pada tempat-tempat yang kotor.
Adapun kelompok yang kedua; perkataan mereka sama saja dengan: meniadakan keberadaan-Nya, dengan kata lain: bahwa Allah sebenarnya tidak ada.
"Ta’aalaallaahu ‘Ammaa Yaquuluun" (Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan).
[Lihat: "At-Tanbiihaat as-Saniyyah ‘Alal ‘Aqiidah al-Waasithiyyah" (hlm. 213) karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz An-Nashir Ar-Rasyid -rahimahullaah-]
-diambil dari: "Syarah Ushulus Sunnah" (hlm. 86-88), karya Ahmad Hendrix
Tidak ada komentar: