Keutamaan Menjaga lisan dan kemaluan

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ وَقَاهُ اللهُ شَرَّ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَ شَرَّ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ دَخَلَ اْلجَنَّةَ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dipelihara oleh Allah dari keburukan apa yang ada diantara dua jenggotnya (maksudnya lidah) dan juga dari keburukan apa yang ada diantara dua kakinya (maksudnya farji atau kemaluan), maka ia akan masuk surga”. [HR at-Turmudziy: 2409)

Di dalam riwayat lain dari Sahl bin Sa’d radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dapat menjaga lisan dan farjinya karenaku, maka aku akan menjamin surga untuknya”. [HR al-Bukhoriy: 6474, 6807)

Hadits ini, mengisyaratkan wajibnya menjaga lisan dari mengucapkan apa yang tidak diperkenankan secara syar’iy dari apa yang tidak ada keperluan bagi orang yang mengucapkannya. Cobaan yang paling besar bagi seseorang di dunia ini adalah lisan dan farjinya. Barangsiapa yang dapat menjaga dari keburukan keduanya maka ia telah menjaga dari keburukan yang paling besar.

Keutamaan Menjaga lisan dan kemaluan

Menjaga lisannya dari ucapan yang haram berupa dusta, ghibah, namimah, menipu dan selainnya. Menjaga farjinya dari berzina, dan sarana-sarananya, maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam akan menjamin untuknya surga. Maksudnya balasannya adalah surga apabila engkau dapat menjaga lisan dan farjimu. Tergelincirnya lisan itu sama persis dengan tergelincirnya farji, sangat mengkhawatirkan sekali. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengkaitkan di antara keduanya hanyalah karena pada lisan itu ada syahwat ucapan.

Dalam riwayat lain Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda

عن سفيان بن عبد الله الثقفي قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ حَدِّثْنىِ بِأَمْرٍ أَعْتَصِمُ بِهِ قَالَ: قُلْ رَبِّيَ اللهُ ثُمَّ اسْتَقِمْ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا أَخْوَفَ مَا تَخَافُ عَلَيَّ؟ فَأَخَذَ بِلِسَانِ نَفْسِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذَا
Dari Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqofiy berkata, aku bertanya, “Wahai Rosulullah ! ceritakan kepadaku suatu perkara yang aku dapat berpegang kepadanya”. Beliau bersabda, “Ucapkanlah ! Rabb-ku adalah Allah, kemudian istiqomahlah”. Sufyan berkata, aku bertanya lagi, “Wahai Rosulullah ! sesuatu apakah yang paling engkau khawatirkan diantara yang engkau khawatirkan?”. Beliau lalu memegang lidahnya sendiri, kemudian bersabda, “Ini”. [HR at-Turmudziy: 2410, Ibnu Majah: 3972, ad-Darimiy: II/ 298 dan Ahmad: III/ 413, IV/ 485)

Untuk mendapatkan kebahagiaan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk istiqomah, yang ia wasiatkan sesudah itu adalah agar menjaga lisan”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 13].

Jika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam saja sangat mengkhawatirkan akan bahaya lisannya atasnya, maka bagaimana dengan umatnya. Tentu seharusnya mereka lebih memiliki rasa khawatir dibandingkan dengan Beliau saw. Sebab Beliau telah nyata keimanan dan keistiqomahannya, dan apalagi tiada yang diucapkannya melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya. Sedangkan mereka, apa yang menjadi alasan bagi mereka untuk tidak mengkhawatirkan akibat buruk yang ditimbulkan oleh lisan mereka?

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه رَفَعَهُ قَالَ: إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ اْلأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُوْلُ: اتَّقِ اللهَ فِيْنَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنِ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَ إِنِ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu secara marfu’, Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila manusia menjelang pagi, maka semua anggota-anggota badannya menyalahkan lisan. Mereka berkata, “(Wahai lisan) bertakwalah engkau kepada Allah, karena kami. Maka sesungguhnya keadaan kami tergantung kepadamu. Jika kamu istiqomah, kamipun istiqomah. Namun jika kamu menyimpang, maka kamipun menyimpang”. [HR at-Turmudziy: 2407 dan Ahmad: III/ 96)

Pentingnya menjaga lisan di dalam keselamatan manusia, yang demikian itu disebabkan bahwa lisan itu adalah penterjemah hati, pengungkap dan penguasanya. Apa yang terlintas dalam hati itu akan nampak atas lisannya. Oleh sebab itu dikatakan: seseorang itu dengan dua ashghar (benda kecil) yaitu hati dan lisannya”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 17].

Dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu berkata, aku bertanya, “Wahai Nabiyullah! Apakah kita akan dihukum hanya lantaran apa yang kita ucapkan?”. Lalu Beliau bersabda,

ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَ هَلْ يُكَبُّ النَّاسُ فىِ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“Ibumu telah kehilanganmu wahai Mu’adz. Tidaklah manusia itu ditelungkupkan di dalam neraka atas wajah-wajah atau hidung-hidung mereka melainkan hanyalah karena hasil dari lisan-lisan mereka”. [HR at-Turmudziy: 2616, Ibnu Majah: 3973, al-Hakim: 3601 dan Ahmad: V/ 231, 236, 237).

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahiih Sunan at-Turmudziy: 2110, Shahiih Sunan Ibni Maajah: 3209, Shahiih al-Jaami’ ash-Shaghiir: 5136 dan Irwaa’ al-Ghaliil: 413].

Asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah bertutur, “Terdapat penjelasan bahwasanya hamba itu dihukum dengan seluruh apa yang diucapkannya, apakah diucapkannya dengan sungguh-sungguh atau main-main. Yang dapat menelungkupkan manusia di dalam neraka dan membawa mereka kepada kebinasaan adalah apa yang keluar dari lisan mereka”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 23].

Dalil hadits di atas menerangkan tentang pentingnya mengendalikan dan menjaga lisan, sebagaimana diperintahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Barangsiapa yang dapat menjaga dan mengendalikan dari berbagai keburukan yang ditimbulkan lisan berupa dusta, namimah, ghibah, cacian, celaan, kutukan, fatwa tanpa dalil dan lain sebagainya maka ia akan mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan serta masuk ke dalam surga. 

Tetapi jika tidak, maka ia akan ditelungkupkan atas wajahnya di dalam neraka. Begitu juga ia mesti memelihara dirinya dari pengungkapan berbagai keburukan lisan yang dituangkan dalam bentuk tulisan yang beredar di berbagai media, apakah surat kabar ataupun media elektronik.

Bahkan dikisahkan ada seorang wanita yang telah dikenal ibadahnya dengan baik namun ia tidak dapat mengendalikan lidahnya yakni suka mengganggu tetangganya dengannya, maka iapun masuk ke dalam neraka. Sebagaimana di dalam riwayat berikut ini,

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنَةً تَقُوْمُ اللَّيْلَ وَ تَصُوْمُ النَّهَارَ وَ تَفْعَلُ وَ تَصَدَّقُ وَ تُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لاَ خَيْرَ فِيْهَا هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ قَالُوْا: وَ فُلاَنَةً تُصَلِّى اْلمَكْتُوْبَةَ وَ تَصَدَّقُ بِأَثْوَارٍ وَ لاَ تُؤْذِي أَحَدًا؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: هِيَ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, pernah ditanyakan kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai Rosulullah, sesungguhnya si Fulanah suka sholat malam, shoum di siang hari, mengerjakan (berbagai kebaikan) dan bersedekah, hanyasaja ia suka mengganggu para tetangganya dengan lisannya?”. Bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Tiada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka”. Mereka bertanya lagi, “Sesungguhnya si Fulanah (yang lain) mengerjakan (hanya) sholat wajib dan bersedekah dengan sepotong keju, namun tidak pernah mengganggu seorangpun?”. Bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Dia termasuk penghuni surga”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrod: 119, Ahmad: II/ 440)

Berkaca dengan hadits Abu Hurairah radliyallahu anhu di atas, dapat dimengerti bahwa kendatipun seseorang itu telah dikenal akan banyaknya jenis ibadah yang dikerjakan dari mengerjakan sholat malam setelah wajibnya, shoum sunnah pada siang harinya sesudah Ramadlan, bersedekah dan berbagai perbuatan baik lainnya. Namun jika ia tidak dapat mengendalikan lisannya berupa dusta, cacian, celaan, kutukan, sumpah serapah dan sebagainya, dan yang terbanyak biasanya adalah ghibah atau gunjingan, maka tempat yang pantas untuknya adalah neraka.

Tidak ada komentar: