Keutamaan menyambung silaturahim

عَنْ ابْنِ شِهَا بٍ قَالَ أَخْبَرَنِي اَنَسُ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فيِ رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ .
Dari Ibnu Syihab, dari Annas bin Malik berkata bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu alahi wa salam bersabda : barang siapa ingin dilapangkan rizkinya dan ditangguhkan atau dipanjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung tali kasih sayang dengan keluarganya. (H.R. Bukhari dalam Syarah Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, t.th), hlm. 20.

Kata silaturahim lebih merujuk pada hubungan kekeluargaan, sementara silaturahmi bersandar pada sikap kasih sayang secara universal.

Rahim merujuk pada ‘tempat janin’. Sementara ‘rahmi’ terserap dari ‘ar-rohmu’, kasih sayang. Ada hadis Nabi: Barang siapa yang ingin dimudahkan rezekinya dan dipanjangkan usianya hendaklah menghubungkan rahimnya (bersilaturahim). Bahkan Nabi sangat keras bagi orang yang memutuskan hubungan: Tidak akan masuk surga pemutus (silaturahim).

Keutamaan menyambung silaturahim

Silaturahim dan silaturahmi, hakikatnya mengandung makna yang sama tapi penggunaannya dalam kalimat berbeda. Dan secara harfiah berbeda. Intinya keterikatan hubungan. Siapa yang memutus hubungan pada konteks ‘tempat janin’, hubungan keluarga, hubungan anak dan orangtua, ia akan terputus dari surga yang dijanjikan Allah.

Jadi tidak boleh kita memutus hubungan (ikatan janin) dengan keluarga sendiri meski benci ke adik atau kakak, ia satu rahim. Dan pada kata rahmi, tali kasih sayang, pun sama. Tidak boleh memutus kasih sayang terhadap sesama manusia karena akan berdampak pada terputusnya jalan rezeki, atau setidaknya akan hilang keberkahan rezeki.

Disebutkan dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, dari Abu Ayyûb al-Anshârî:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ : يا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي بِمَا يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُّ : لَقَدْ وُفِّقَ أَوْ قَالَ لَقَدْ هُدِيَ كَيْفَ قُلْتَ ؟ فَأَعَادَ الرَّجُلُ فَقَالَ النَّبِيُّ : تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصِلُ ذَا رَحِمِكَ فَلَمَّا أَدْبَرَ قَالَ النَّبِيُّ : إِنْ تَمَسَّكَ بِمَا أَمَرْتُ بِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Bahwasanya ada seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang bisa memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh dia telah diberi taufik,” atau “Sungguh telah diberi hidayah, apa tadi yang engkau katakan?” Lalu orang itupun mengulangi perkataannya. 

Setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, menegakkan shalat, membayar zakat, dan engkau menyambung silaturahmi”. Setelah orang itu pergi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika dia melaksanakan apa yang aku perintahkan tadi, pastilah dia masuk surga”.

Hadis tersebut sederhana dalam menyuguhkan rahasia untuk masuk surga, yaitu dengan merawat dan menjaga hubungan kasih sayang baik dengan keluarga dekat maupun dengan sesama warga dunia.

Tidak ada komentar: