3 Sikap manusia terhadap Penguasa Dzalim

3 Sikap manusia terhadap Penguasa Dzalim

Dari Ka’ab bin Ujroh radhiyallahu ‘anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar mendekati kami, lalu bersabda:

إِنَّهُ سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ بَعْدِي أُمَرَاءٌ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهمْ ، فَلَيْسُ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ ، وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ حَوْضِي ، وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ ، فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَسَيَرِدُ عَلَيَّ الْحَوْضَ
“Akan ada setelahku nanti para pemimpin yang berdusta. Barangsiapa masuk pada mereka lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan mendukung kedhaliman mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangitelagaku (di hari kiamat). Dan barangsiapa yang tidak masuk pada mereka (penguasa dusta) itu, dan tidak membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung kedhaliman mereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari golongannya, dan ia akan mendatangi telagaku (di hari kiamat).” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i)

Oleh sebagian orang, hadits ini dialamatkan kepada yang mentaati pemimpin walaupun pemimpin tersebut dzalim, menurut mereka mentaati pemimpin dzalim (dalam bukan perkara dosa) telah dianggap sebagai penjilat penguasa, masuk ke lingkaran penguasa dzalim, menyokong dan mendukung kedzaliman, mereka akan mendapatkan ancaman sebagaimana yang disebutkan dalam Hadits tersebut.

Disisi lain ada hadits yang memerintahkan untuk mentaati pemimpin walaupun dzalim, dan mereka akan bingung ketika menghadapi hadits ini sehingga sebagian mereka melemahkan hadits dan menyatakan hadits ini tidak shahih, yaitu sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam :

« يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ».
“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “ Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?” Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim)

Hadits ini memerintahkan untuk mentaati penguasa yang dzalim selama bukan memerintahkan perkara dosa dan maksiat.

Oleh karena itu, sikap manusia dalam masalah ini ada 3 macam :

1-Yang ekstrim dalam memuliakan penguasa sehingga membenarkan setiap sikap dan kebijakannya walaupun melanggar syariat, selalu mendukung kedzaliman penguasa, inilah yang dilakukan kaum syi'ah terhadap imam imam mereka sampai sampai meyakini kema'shuman imam dan pelimpin mereka, demikian juga kaum sufi terhadap mursyid atau pimpinan serta tokoh mereka

2-Yang ekstrim dalam menentang penguasa sehingga mencela, mencaci bahkan mengkafirkan penguasa, sebagaimana aqidahnya kaum khowarij dan mu'tazilah yg menjadikan prinsip agama mereka yaitu memberontak kpada penguasa dzalim

3-Yang bersikap bijak dan pertengahan, yaitu ahlus sunnah yg memerintahkan untuk taat kpada penguasa yg dzalim dengan tetap menyampaikan nasehat dg cara yg bijak tdak mencela dan mengumbar aib penguasa di depan umum, mndoakan kebaikan untuk penguasa, inilah aqidahnya salafus shalih ahlus sunnah waljama'ah

Maka Ahlus Sunnah adalah kelompok yang adil dalam bersikap terhadap penguasa, hal ini berbeda dengan kelompok yang ekstrim dari kalangan Khowarij dan Mu’tazilah dimana mereka adalah kaum yang merendahkan dan menghinakan para penguasa bahkan mengkafir kan mereka.

Atau kelompok Shufiyyah dan Syi’ah Rafidhah yang berkeyakinan ma’shumnya (terpeliharanya para pemimpin dari dosa dan kesalahan), serta sucinya para Imam mereka.

Sampai sampai Al Khomaini salah seorang Ulama Syi’ah mengatakan :

إِنَّ لِأَئِمَتِنَا مَقَامًا لَا يَبْلُغُهُ مَلَكٌ مُقَرَّبٌ وَلَا نَبِيٌّ مُرْسَلٌ
“Sesungguhnya Imam Imam kita memiliki kedudukan yang tidak bisa dicapai (derajat) para Malaikat yang dekat atau nabi yang diutus” (Al Hukumah Al Islamiyyah : 52)

Yang perlu ditegaskan disini juga adalah bahwa membantu pemimpin dalam hal yang baik adalah perkara yang disyari’atkan.

Al Hafidz Ibnu Rajab mengatakan ketika menjelaskan bahwa Agama ini nasehat bagi pemimpin :

وَالنَّصِيحَةُ لِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ: مُعَاوَنَتُهُمْ عَلَى الْحَقِّ، وَطَاعَتُهُمْ فِيهِ، وَتَذْكِيرُهُمْ بِهِ، وَتَنْبِيهُهُمْ فِي رِفْقٍ وَلُطْفٍ، وَمُجَانَبَةُ الْوُثُوبِ عَلَيْهِمْ، وَالدُّعَاءُ لَهُمْ بِالتَّوْفِيقِ 
“Dan menasehati pemimpin kaum muslimin itu dengan membantu mereka diatas kebenaran, mentaati mereka, mengingatkan mereka, memberi peringatan dengan kelemah lembutan, menjauhi bersikap dzalim kepada mereka, mendoakan mereka agar mendapatkan taufiq (Jaami’ul ‘Ulum Wal Hikam hal. 80)

✍ Abu Ghozie As Sundawie

Tidak ada komentar: