KARENA FITNAH DEMOKRASI

KARENA FITNAH DEMOKRASI

Bermula dari minimnya pengetahuan bahwa ternyata bolehnya partisipasi Pemilu merupakan pendapat jumhur ulama salafi kontemporer yang didasari dalil dan kaidah ilmiah yang kuat.

Setelah tahu dan (mungkin) kaget, dibuatlah penakwilan bahwa fatwa jumhur ulama tidak sesuai dengan realita Indonesia. Ujung-ujungnya, pokoknya, direkayasa bagaimana ikut pendapat saya, tidak ikut Pemilu. Padahal pertanyaan dan jawaban fatwa ulama sangat berkesesuaian dengan kondisi Indonesia. Bahkan sebagian diantaranya dari penuntut ilmu benar-benar bertanya tentang kondisi Indonesia yang jawabannya tentu tidak selaras dengan keinginan jawaban mereka.

“Ulama yang membolehkan Pemilu, TIDAK ADA SATUPUN yang memberikan dukungan atau memberikan clue mendukung orang-orang tertentu”. Begitu kata mereka. Saya pribadi maklum, melihat usaha kerasnya bagaimana menihilkan pendapat jumhur ulama yang membolehkan, bahkan menganjurkan, ikut Pemilu dengan kaidah akhafudl-dlararain. Urusan pede berstatemen seperti itu memang nomor 1. “Pokoknya nggak ada ulama!!”. Saya pribadi pernah kasih contoh Syaikh Al-Barraak dan Syaikh Washiyullah ‘Abbaas yang menyebutkan orang yang ditahdzir agar tidak dipilih dan/atau menyebutkan orang yang seharusnya dipilih. Dan sebenarnya masih banyak yang lain.

Setelah gagal dalam ruang dalil, kaidah, dan realitas fatwa ulama; beralih kemudian menyoroti kelakuan individu. Terutama individu yang dianggap tokoh, terutama individu yang gemar main gadget. Ya, di sana ada guru yang – katanya terpaksa - gabung dengan penjoget di lapangan kampanye, acung-acung jari 02 bersama wanita bukan mahramnya, obral hadits dengan harga yang sangat murah yang memuat bilangan 02 hanya untuk kampanye 02. Yang lain guru provokator yang kadang maksain bikin analisis sampah (dari mulai ekonomi sampai TKA Cina), menjelek-jelekkan penguasa dengan diksi-diksi kampungan, dan yang lainnya. Guru kencing berdiri, muridnya di internet ramai-ramai kencing di atas kereta api. Pemain offside selalu ada dalam setiap pertandingan. Bahkan, ada yang jagoan offside plus diving, pura-pura akting teraniaya.

Yang beginian kemudian dijadikan model bahwa lu lu semua yang ikut Pemilu, sama seperti dua orang itu. Yang nggak sama pun berusaha distiga bagaimana caranya agar sama, dengan bungkusan macam-macam. Memang agak senewen orang-orang ini.

(-) : “Kalian tidak mengingkarinya!!”.
(+) : “Lo kok tahu?”.
(-) : “Karena saya tidak tahu”
(+) : “Siap tuan besar, kami akan melaporkan 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam sepekan agar tuan besar yang semula tidak tahu menjadi tahu”.

Membuat pilihan dalam Pemilu tidak akan membuat mereka tenang. Karena katanya, ini masalah manhaj, pembeda antara Salafi dan Bukan Salafi. “Ini ushul bro, manhaj !!”, sambil setengah teriak. Sampai banyak orang yang nggak merasa ikut-ikutan dua contoh tukang offside dan diving kena bidik.

Inilah fitnah demokrasi.

Pasca Pemilu, ketika hari telah tenang, orang-orang telah kembali bekerja, para petani mulai menanam padi, dan ayam broiler telah cukup usia untuk dijadikan opor lebaran dan buka puasa Syawal; suara mereka masih saja bising. Bahkan hingga hari ini menjelang lebaran haji. Mungkin saya termasuk diantara mereka yang sedang saya tulis sendiri.

Btw,…. Inilah fitnah Demokrasi. “Ini masalah ushul bro, manhaj !!”.

sumber fb Dony Arif Wibowo

Tidak ada komentar: